Ada sebuah kisah tentang Embah Cigangsa, dikatakan bahwa ia seorang sepuh/tetua yang tinggi ilmunya, cerdik cendekia, dan saciduh metuh saucap nyata (seucap nyata). Tersebutlah Embah Cigangsa mempunyai adik perempuan bernama Nyimas Suradewi. Embah Cigangsa sangat menyayangi adiknya itu.
Singkat cerita, saat Nyimas Suradewi meninggal saat melakukan perjalanan, Embah Cigangsa memberi nama wilayah kekuasaan adiknya dengan nama Surade, untuk mengenang adiknya itu. Itulah asal mula nama Surade.
Embah Bungsu
Saudara ketiga dari Embah Emas yang ikut pelarian ke tanah Jampang dan sekitarnya bernama Raden Bratadikusumah alias Embah Bungsu. Embah Bungsu walaupun menjadi adik paling kecil, namun dikenal memiliki ilmu agama yang tinggi dan karenanya sangat dihormati oleh kakaknya, Embah Emas dan Embah Cigangsa.
Menurut sumber Ikin Ardisoma, Embah Bungsu membuka kampung dan menetap di Hulu Sungai Cicurug Pamerangan (sekarang kampung Purwasedar 2, Jampang Kulon) di sekitar mata air Cicurug. Mata airnya sampai saat ini masih terus memancarkan air walaupun sedang kemarau. Bisa jadi itu salah satu karomah ketinggian ilmu seorang Embah Bungsu.
Embah Beureum
Embah Beureum tak ada hubungan persaudaraan dengan keempat embah sebelumnya. Namun demikian kisahnya saling berkaitan erat. Brojonoto yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah adalah seorang pemimpin pasukan yang diperintahkan Kompeni (Belanda) untuk mengejar Embah Emas dan adik-adiknya. Dalam pengejaran itu, Brojonoto melakukan duel dengan Embah Karangbolong dan kalah sampai meregang nyawa.
Brojonoto lalu dimakamkan di dekat batu tumpang pinggiran pantai. Kini banyak orang menyebutnya kuburan Embah Beureum (makamnya tidak jauh dari pinggir Pantai Karangbolong, Kecamatan Cibitung).
Itulah kisah tentang lima embah yang menjadi karuhun urang Jampang dan sekitarnya. Wallahualam.
Sumber : Kitab Kuno Hideung Terjemahan, sejarawan Sukabumi, Anies Djatisunda (eka)