Oleh Iskandar Sitorus – Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Tanah adalah nyawa bangsa. Namun di Sumatera Utara, ribuan hektare tanah eks-HGU milik (dahulu) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang seharusnya dikembalikan ke negara untuk program reforma agraria (TORA), justru berpindah tangan.
Modusnya beragam, mulai dari jual-beli terselubung, kerja sama operasional fiktif, hingga transaksi notarial yang tidak transparan. Semua dilakukan tanpa dasar hukum sah, bahkan menabrak regulasi agraria dan keuangan negara.
Cukup sudah permainan di balik meja!
Kini, Kejaksaan Agung telah melimpahkan/supervisi kasus ini ke Kejati Sumut. Sudah saatnya publik ikut membantu dengan membuka daftar tanah eks-HGU yang dijual atau dialihkan secara melawan hukum oleh PTPN II.
Peran masyarakat bukan sekadar dukungan moral, tapi bagian dari gerakan nasional penyelamatan tanah negara dan implementasi nyata Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Sumatera Utara.
Indikasi sistemik pengalihan tanah negara
Laporan analitis ini menunjukkan indikasi kuat pengalihan aset TORA dari eks-HGU PTPN II. Laporan ini disampaikan ke Kepala Kejati Sumut agar proses penegakan hukum berjalan tersebut komprehensif/sempurna.
Kita tahu, Kejati Sumut sedang berupaya menyelamatkan kerugian negara. Namun di sisi lain, Kejati juga merupakan bagian dari Tim GTRA Provinsi Sumatera Utara bersama Gubernur.
Kedua posisi ini menempatkan Kejati Sumut dalam peran strategis, yaitu sebagai penegak hukum sekaligus pelaksana reforma agraria.
Tanah negara yang jadi komoditas
Tanah eks-HGU PTPN II adalah aset negara. Karena belum diredistribusi dengan seharusnya. Namun di lapangan, tanah-tanah tersebut berubah menjadi komoditas bisnis, yakni dijual, disewakan, bahkan dialihkan tanpa dasar hukum yang sah. Padahal, tanah-tanah itu adalah objek reforma agraria yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat.
Laporan ini disusun berdasarkan dokumen otentik, LHP BPK, dan akta notaris, yang menunjukkan indikasi pelanggaran hukum sistemik dan kerugian negara triliunan rupiah.
Audit BPK: polanya konsisten, pelakunya berulang
BPK sejak 2008 telah mencatat pola penyimpangan pengelolaan tanah eks-HGU PTPN II secara konsisten:
- LHP 2008 (No. 26/LHP/XVIII.MDN/12/2008)
Ditemukan 2.150 ha HGU dikuasai pihak ketiga tanpa dasar hukum. - LHP 2016 (No. 18/LHP/XVIII.MDN/03/2016)
Penyewaan 1.500 ha tanpa izin, potensi kerugian Rp1,8 triliun. - LHP 2021 (No. 23/LHP/XVIII.MDN/06/2021)
Sebanyak 1.243 ha HGU aktif terbengkalai. - LHP 2023 (No. 07/LHP/XVIII.MDN/04/2023)
Pengalihan tanah ke pengembang tanpa tender, nilai potensi kerugian mencapai Rp3,4 triliun per tahun.
Kesimpulan audit tersebut jelas, yakni terdapat pola sistematis penguasaan dan pengalihan tanah negara tanpa dasar hukum, dilakukan berulang oleh pengurus PTPN II dan pihak-pihak terafiliasi.
Bukti transaksi yang tak terbantahkan
Contoh konkret dapat dilihat saat jual-beli Persil 53, di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis (3.650 m²):
A. Transaksi pertama: PTPN II menjual tanah kepada Hasanul Arifin Daulay, seorang buruh tani, melalui Akta Pelepasan Hak No. 41 (21 Maret 2022) yang dibuat oleh Notaris Muhammad Arif Fadillah, S.H. Pihak PTPN II diwakili oleh Syahriadi Siregar, dengan dasar SK Gubernur Sumut No. 188.44/552/KPTS/2021. Harga jualnya: Rp1.192.950.000.
Pertanyaannya sederhana:
Bagaimana mungkin seorang buruh tani memiliki dana sebesar itu untuk membeli tanah dari PTPN II? Semua pihak yang terlibat, PTPN II, notaris, Hasanul, hingga pejabat provinsi, harus diperiksa Kejati Sumut.
B. Transaksi kedua (37 hari kemudian): Hasanul menjual tanah yang sama kepada Raden Polfan, menggunakan notaris dan saksi yang sama, dengan harga naik hanya Rp5 juta (Akta No. 30, 27 April 2022). Transaksi secepat ini dengan notaris yang sama jelas tidak wajar dan berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian hukum.
Kejati dapat dengan mudah menelusuri alur uang dari Hasanul ke rekening PTPN II dan dari Polfan ke Hasanul. Apakah benar transaksi itu nyata atau hanya simulasi? Bagaimana pula dengan pajaknya?
C. Kasus Pemkab Deli Serdang (Bandar Klippa): Pemkab mengaku telah membayar tanah eks-HGU seluas 3 hektare ke PTPN II, berdasarkan keterangan pada SP.Lidik/275.a/VIII/2025/Ditreskrimsus dan SP.Gas/978.a/VIII/2025/Ditreskrimsus (25 Agustus 2025). Namun, tanah tersebut kini dikuasai pihak warga penggarap. Ini tentu bukan sekadar maladministrasi, tapi indikasi korupsi atas aset negara.
D. Nama-nama yang berulang: Di eks kebun Bandar Klippa, muncul nama-nama seperti Alwi SH, Alwi Juanda, dan Raden Polfan. Mereka mengklaim telah membayar SPS dan bahkan menembok lahan secara permanen.
Kejati Sumut tentu punya kapasitas penuh untuk menelusuri mereka, karena fakta di lapangan sudah terang-benderang.
Daftar awal tanah eks-HGU yang diduga diperjualbelikan
