ACEH UTARA, Mediakarya – Polemik antara Komisi III DPRK Aceh Utara dan PT Pema Global Energi (PGE) semakin mengemuka setelah perusahaan tersebut tidak menghadiri undangan rapat koordinasi yang dijadwalkan lembaga legislatif daerah. Ketidakhadiran itu memunculkan interpretasi baru tentang relasi dan pola komunikasi antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), Pemerintah Kabupaten, dan lembaga pengawasan daerah.
Dalam surat balasan resmi yang ditandatangani Act. General Manager PT PGE, Resha Ramadian, perusahaan menyebutkan ketidakmampuan menghadiri undangan koordinasi DPRK karena masih menunggu persetujuan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Respons tersebut dianggap oleh Komisi III sebagai isyarat bahwa koordinasi lintas lembaga di tingkat daerah tidak dipandang penting oleh PT PGE.
Ketua Komisi III DPRK Aceh Utara, Arasyah Hanafiah, menilai jawaban tersebut bukan sekadar bentuk ketidakhadiran, tetapi mencerminkan adanya pembatasan ruang komunikasi antara perusahaan energi dan pemangku kepentingan daerah. Menurutnya, alasan “menunggu persetujuan BPMA” memperlihatkan pola hubungan yang menempatkan pemerintah daerah pada posisi tidak strategis.
Arasyah menegaskan bahwa peran pemerintah kabupaten dan DPRK sangat vital dalam memastikan transparansi operasional perusahaan energi yang beroperasi di wilayah Aceh Utara.
Ia mengingatkan bahwa DPRK, meski bukan mitra langsung K3S, memiliki mandat undang-undang sebagai representasi masyarakat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
“Penting bagi PT PGE untuk menghargai masyarakat tempat mereka beroperasi. BPMA juga jangan membuat aturan yang seolah membatasi ruang koordinasi perusahaan dengan kami sebagai pemangku kepentingan daerah,” tegas Arasyah.
Menurutnya, pembatasan semacam ini justru berpotensi memperlemah keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam proses pengawasan industri migas yang memiliki risiko tinggi.
Insiden Gudang Kondensat Memperkuat Kekhawatiran DPRK
Peringatan Komisi III juga muncul pasca insiden kebakaran gudang kondensat milik PGE di Point B yang terjadi hari ini. Peristiwa tersebut menjadi ilustrasi nyata mengenai pentingnya alur komunikasi dan koordinasi terbuka antara perusahaan, regulator, dan pemerintah daerah.
“Jika terjadi insiden dan masyarakat terdampak, apakah BPMA bisa mengambil alih seluruh tanggung jawab?” tanya Arasyah, menekankan bahwa keterbatasan komunikasi justru memperbesar risiko bagi publik.
Arasyah menyatakan bahwa bila pola komunikasi tertutup ini terus berlangsung, DPRK Aceh Utara siap mengambil langkah lebih tegas.
“Secara kolektif kami akan melaporkan kinerja BPMA dan PT PGE kepada DPR RI dan Kementerian ESDM,” ujarnya.
Langkah tersebut dipandang sebagai upaya memastikan bahwa hak daerah dan masyarakat tidak terpinggirkan dalam operasi industri migas di Aceh Utara. (Zulmalik)




