Emrus mengatakan, sebagai gubernur dan pempimpin yang membahagiakan masyarakat Jakarta, Anies harus melihat dan mem-validasi kemampuan perusahaan serta menyimak sungguh-sungguh keinginan buruh untuk berbahagia dalam bidang pendapatan.
“Sementara kemampuan perusahaan sangat varian sehingga tidak boleh dilakukan generalisasi penentuan UMP. Ada perusahaan yang mampu membayar UMP, bahkan di atas itu. Sebaliknya, ada yang belum kuat membayar batas UMP karena kelesuan ekonomi sebagai dampak Covid-19,” katanya.
Sebagai pempimpin yang membahagiakan warganya di sektor buruh dan pengusaha, Emrus meminta agar Anies membuat terobosan baru dengan mengalokasikan sebagian APBD DKI Jakarta kepada buruh.
“Sebagai contoh memudahkan perhitungan, kemampuan suatu perusahaan membayar upah hanya 3 juta rupiah perbulan, sementara UMP mencapai 5 juta rupiah, tidak ada salahnya APBD DKI Jakarta dialokasikan sebanyak 2 juta rupiah atau lebih agar semua buruh di Jakarta bahagia. Lebih radikal positif, jika Pemda DKI Jakarta memberikan insentif parmanen bagi semua buruh di DKI Jakarta minimal 2,5 juta rupiah atau lebih perbulan,” katanya.
Pertanyaan apakah itu bisa diwujudkan dari APBD DKI? Menurut dia, sangat bisa. Ini persoalan kemauan, komitmen atas janji politik ketika kampanye dan keberpihakan kepada buruh dan pengusaha yang sedang menghadapi kelesuan ekonomi akibat Covid-19.
“Lakukan saja secara tegas dan kongkrit pemotongan fasilitas dan pendapatan Gubernur, Wagub, Sekretaris Wilayah Daerah, semua Kepala Dinas serta TKD (tunjangan kinerja daerah) para ASN di Jakarta, yang sangat luar biasa dibanding dengan kepala daerah dan ASN di propinsi lain,” tuturnya.
Bahkan Emrus berpendapat, buruh harus lebih sejahtera dari aspek ekonomi daripada para pejabat dan ASN DKI Jakarta. Mengapa? Melalui keringat para buruh, bukankah perusahaan membayar berbagai pajak dan perijinan sesuai UU kepada Pemda DKI Jakarta sebagai sumber pendapatan daerah.