LBH Kesehatan Sebut Pinjaman Rp70 Triliun IHSS Kemenkes Rawan Dikorupsi 

Gedung Kemenkes. (Foto: Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Pinjaman Indonesia Health System Strengthening (IHSS) senilai USD 1,485 miliar (Rp70 triliun) merupakan pinjaman luar negeri satu paket terbesar yang pernah dijalankan Kemenkes. Di mana pinjaman ini lebih besar dari pinjaman alkes sebelumnya sekitar Rp60–61 triliun pada 2023.

Dalam konteks kementerian, posisi IHSS menempatkan Kemenkes di urutan ketiga perolehan pinjaman luar negeri nasional setelah Kemenhub USD 5,57 miliar dan Kementerian PUPR USD 5,47 miliar pada 2023 .

“IHSS adalah utang terbesar untuk Kemenkes dalam sejarah modern, dan satu paket pinjaman per sektor kesehatan paling masif sejauh ini,” ungkap Ketua Pendiri LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Rabu (9/7/2025).

Iskandar mengungkapkan, dalam struktur pembiayaan proyek IHSS Kementerian Kesehatan, mayoritas dana berasal dari pinjaman World Bank dengan nilai mencapai sekitar USD 1,485 juta, menjadikannya sebagai pemberi kredit dominan dalam keseluruhan proyek ini.

Selain itu, sebagian pendanaan juga bersumber dari lembaga multilateral lain seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank (IsDB).

“Adapun komponen-komponen strategis yang ikut dibiayai, seperti SOPHI, SIHREN, dan InPULS, yakni subprogram yang berfokus pada sistem informasi kesehatan, penguatan laboratorium rujukan, serta peningkatan layanan primer,” ujar Iskandar.

Sementara, di luar pinjaman luar negeri tersebut, pemerintah Indonesia juga mengalokasikan dana pendamping dari dalam negeri melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan, yang diperkirakan mencakup sekitar 20–30 persen dari total kebutuhan pendanaan.

“Dana ini digunakan secara paralel untuk melengkapi pembiayaan proyek dan menjalankan fungsi-fungsi yang tidak tercakup dalam perjanjian kredit luar negeri, misalnya dalam distribusi, pelatihan SDM, dan biaya operasional pendukung di daerah,” beber dia.

Dengan komposisi campuran seperti ini, kata Iskandar, pengelolaan dan akuntabilitas proyek IHSS memerlukan pengawasan berlapis, baik terhadap sumber pinjaman luar negeri maupun dana publik nasional, karena risiko penyimpangan bisa terjadi di berbagai titik.

“Sebab dana ditempatkan dalam Designated Account (DA) oleh Kemenkeu di Bank Indonesia, dan dikelola secara bersama oleh Kemenkes sebagai executing agency,” katanya.

Berdasarkan catatan LBH Kesehatan, komparasi dengan historis pinjaman Kemenkes pada 2023, pinjaman alkes senilai Rp60 triliun dari sindikasi MDB (World Bank, ADB, AIIB, IsDB) . Kemudian, di 2024–2028 (IHSS), senilai USD 1,485 miliar (~Rp70 triliun), meningkat >15% dari pinjaman sebelumnya

“Dari data yang diperoleh, bahwa posisi nasional 2023, Kemenkes urutan ketiga dari 17 kementerian atau lembaga dalam jumlah pinjaman luar negeri,” ungkap Iskandar.

Untuk itu, LBH Kesehatan ada catatan penting terkait dengan jumlah pinjaman Kemenkes yang dinilai cukup fantastis tersebut.

“Kenapa ini penting?, Sebab beban tambahan utang Rp70 triliun pada masa kerja yang relatif singkat (2024–2029),” katanya.

Dengan pinjaman yang cukup fantastis itu, dinilai berisiko tinggi jika tidak diawasi ketat sebab ada dugaan pola pengadaan salah yang terulang bisa berdampak besar karena nilai proyek sangat besar.

“Negara memikul utang jangka panjang. Utang luar negeri didominasi tenor panjang (99%) tapi fluktuasi nilai tukar bisa menyebabkan pembengkakan saat pembayaran kembali,” ungkapnya.

Kesimpulan dan Opini Kritis

Lebuh lanjut, Iskandar mengungkapkan, bahwa IHSS merupakan pinjaman terbesar dalam sejarah Kemenkes, melampaui paket sebelumnya sebesar Rp60 triliun.

“Dengan alur dana multilateral + lokal, maka proyek ini menghadirkan peluang optimasi besar, tapi juga risiko pengulangan pola salah yang sudah diwarnai oleh BPK sejak 2018. Jadi lebih krusial pengawasannya,” ungkap Iskandar.

Oleh karena itu, LBH Kesehatan merekomendasikan agar adanya langkah strategis, antara lain, audit BPK harus fokus khusus pada akun DA IHSS, untuk memeriksa transparansi penarikan dan penggunaan dana.

Selain itu, DPR perlu gelar spending review atas paket IHSS, memastikan manfaat melebihi risiko utang.

“Kemenkes & Kemenkeu harus siapkan laporan risiko nilai tukar dan denda keterlambatan, termasuk buffer cadangan,” bebernya.

Tak kalah penting, kata Iskandar, sistem pengadaan digital sangat penting (LPSE penuh + tracking via SIPLAH/STEP) untuk mencegah red flags seperti tender diskriminatif.

LBH Kesehatan juga mengajak peran serta masyarakat, dalam hal ini mengajukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk dokumen loan agreement IHSS dan rincian penggunaan dana (World Bank dan lainnya).

Sementara, bagi kalangan akademisi sebaiknya melahirkan analisis dampak beban utang terhadap kesehatan masyarakat jangka panjang.

Dalam fungsinya, DPR dan KPK patut memantau pinjaman IHSS secara langsung melalui hearing dan permintaan laporan.

“Dengan nilai sebesar ini dan pengulangan pola lama, IHSS bisa membawa era baru layanan kesehatan atau jadi beban finansial berikutnya. Tanpa pengawasan ketat, masyarakat akan membayar mahal dua kali yaitu lewat utang dan risiko alat yang tak dipakai,” pungkasnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *