Oleh: Naupal Al Rasyid, SH, MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
Penegakan hukum yang dilakukan tanpa pandang bulu adalah konsep ideal untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum, di mana para penegak hukum (seperti hakim, jaksa dan polisi) harus memproses dan mengadili siapapun tanpa memandang status sosial, jabatan, atau kedudukannya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam arti, siapapun melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Tetapi belakangan ini, ada beberapa kasus-kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai pelaku ataupun tergugat yang seharusnya dapat diselesaikan dengan mekanisme di luar hukum pidana. Namun, pihak tertentu mungkin membawa kasus tersebut ke ranah pidana (litigasi) karena berbagai alasan, seperti ketidaksepakatan dalam negosiasi, kurangnya pemahaman akan solusi alternatif, atau persepsi bahwa hukuman pidana adalah satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan.
Membicarakan penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan hukum pidana, bukan pada aspek fisik maupun mental mereka. Lebih dari itu, penyandang disabilitas adalah manusia yang setara dengan yang lain. Terkait dengan lembaga peradilan, baik polisi, jaksa atau hakim, maka penyandang disabilitas harus diperlakukan sebagai orang yang setara dengan manusia yang lain. Aparat penegak hukum tidak boleh bertumpu pada aspek fisik dan mental mereka. Harus diupayakan sebisa mungkin agar hambatan interaksinya ditiadakan. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas merupakan substansi yang sangat penting beriringan dengan masalah pengaturan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana adalah implementasi ide keseimbangan, antara adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas culpabilitas/asas geen straf zonder schuld) yang merupakan asas kemanusiaan sebagai pasangan dari asas legalitas (principle of legality) yang merupakan asas kemasyarakatan. Terdapat pertanyaan mendasar mengenai penyandang disabilitas merupakan sesuatu hal yang harus dicegah atau dikendalikan dan bukan sebaliknya, penyandang disabilitas diberikan ruang termasuk dikategorisasikan sebagai kelompok yang harus diakomodir dan diberikan kebutuhan khusus dalam aspek restorative justice atau keadilan restoratif.
Restorative justice merupakan tahapan penyelesaian perkara di luar pengadilan (settlement outside of court) dengan turut melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang diharapkan memenuhi rasa keadilan kedua belah pihak dengan menekankan pada pemulihan ke keadaan semula dan bukan pembalasan. Menurut Lynne N. Henderson (1985), manifestasi evolusi mengenai tindak pidana dari konsep “privat atau pribadi” menuju lingkup “publik atau sosial”. Sistem peradilan pidana sebelum mengenal restorative justice menyorot penegakan hukum terhadap tindak pidana melalui tahapan persidangan sebatas dimana terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum dan kemudian pemidanaannya diputus oleh hakim. Sistem ini berpusat semata-mata kepada pelaku dan negara dan dalam perkembangannya mengakibatkan pada terabaikannya pemenuhan hak-hak korban karena orientasi penghukuman ditujukan bagi pelaku saja.
Pengertian restorative justice berpegang pada pemikiran tentang penegakan hukum yang adil dan tidak berat sebelah. Dengan penerapan restorative justice, keselarasan sistem pemidanaan tidak hanya bertumpu pada pertanggungjawaban pelaku tindak pidana tetapi juga pada kepentingan pemulihan korban diantaranya melalui pemberian ganti rugi, perdamaian, pengenaan pidana kerja sosial terhadap pelaku, maupun kesepakatan lainnya. Sistem pemidanaan yang belum akrab dengan restorative justice dalam perjalanannya juga menimbulkan kecenderungan praktik penggunaan instrumen pemenjaraan untuk penghukuman. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan permasalahan overcrowding atau kelebihan penghuni pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. (Institute for Criminal Justice Reform, 2022). Menurut data per 23 Januari 2024 dari laman web Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, telah terjadi over kapasitas sebesar 77 (tujuh puluh tujuh) persen dengan jumlah penghuni sejumlah 228.204 dari kapasitas untuk 128.656 penghuni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan. (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2023).
Pada prinsipnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabiltas (difabel) didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Lebih lanjut, penyandang disabilitas sebagaimana ketentuan Pasal 9 huruf a dan b UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, untuk aspek pertanggungjawaban pidana terdapat afirmasi terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual karena menyangkut kondisi psikis (kemampuan bertanggungjawab). Sedangkan, dalam KUHP baru, aspek kemampuan bertanggungjawab bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual dipertegas kualifikasinya menjadi tidak mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab. Bagi yang tidak mampu bertanggungjawab maka tidak dapat dijatuhi pidana tetapi dapat dikenakan tindakan.
Keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk pendekatan alternatif penyelesaian tindak pidana yang fokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat kejahatan, bukan pada pembalasan. Pendekatan ini melibatkan dialog dan mediasi antara pelaku, korban, keluarga, serta pihak terkait lainnya untuk mencari solusi yang adil dan seimbang, dengan tujuan memulihkan keadaan semula dan menciptakan kesepakatan penyelesaian. Pertimbangan lainnya, belum ada penjara khusus disabilitas di Indonesia, tetapi beberapa rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) telah memiliki blok atau unit khusus bagi penyandang disabilitas dan lansia untuk memenuhi kebutuhan mereka yang spesifik. Unit-unit ini dilengkapi fasilitas yang lebih memadai, seperti kamar mandi dengan kloset duduk dan pegangan, ruang ibadah, dan area olahraga. Selain itu, negara mewajibkan penyediaan layanan dan fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas di rutan dan lapas, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan hukum penyandang disabilitas harus diupayakan sebisa mungkin dengan afirmasi terhadap penyandang disabilitas dengan pendekatan restorative justice. Penyelesaian perkara di luar pengadilan (settlement outside of court) dengan restorative justice, dimana turut melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang diharapkan. Pemenuhan rasa keadilan kedua belah pihak dengan menekankan pada pemulihan ke keadaan semula dan bukan pembalasan. Di samping itu, dalam konteks disabilitas ada lapisan tambahan dari perlindungan yang diperlukan. Narapidana dengan disabilitas sering menghadapi tantangan tambahan seperti aksesibilitas yang buruk, perlakuan diskriminatif, atau perawatan medis yang tidak memadai. Dalam hal ini, hak-hak disabilitas, seperti yang diatur dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB menjadi penting. Konvensi ini mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan individu lainnya dan bahwa mereka tidak boleh diskriminasi dalam akses terhadap layanan dan hak-hak dasar. **
