Oleh Agus Wahid
Tergolong mencengangkan. Bagaimana tidak? Ternyata, masyarakat Jakarta tak sedikit yang mengambil sikap politik golput (golongan putih, alias tidak memilih) atau melakukan coblos semua seperti yang bergema sebelumnya: gerakan coblos semua (gercos). Prosentasenya tidak kecil: mencapai 47,9% atau 3.935.328 dari total DPT Jakarta yang berjumlah 8.214.007.
Kita perlu mencatat, golput dan atau gercos tidak mempengaruhi hasil akhir pilkada. Ada dan tidaknya golput atau gercos, hasil pilkada tetap sah. Dan siapapun yang tertinggi perolehan suaranya, dialah sang pemenang: berhak menduduki kekuasaan yang sah (gubernur dan wakil gubernur).
Namun demikian, fenomena golput atau gercos berelasi dengan legitimasi kekuasaan yang diraih. Besarnya prosentasi golput atau gercos cukup menunjukkan krisis legitimasi. Kualitas krisisnya tidak main-main, karena data faktual menunjukkan hampir mencapai 50%.
Kini, kita perlu menterjemahkan lebih jauh fenomena golput/gercos itu. Pertama dan utama, fenomena itu menunjukkan perlawanan politik. Barisan ini tidak sejalan dengan para kandidat yang berlaga di Pilkada Jakarta. Ketidaksependapatannya tak lepas dari kesadaran yang sangat substantif bahwa kandidat yang berlaga tidak akan memberikan yang terbaik untuk Jakarta. Hal ini karena para kandidat itu sesungguhnya entitas rezim penguasa, dari unsur Jokowi ataupun Prabowo. Jika dikejar lebih lanjut, ketidaksejalanan itu pun karena anasir oligarki yang memang menjadi bagian dari pribadi para kandidat.
Itulah sebabnya, relasi atau ikatan khusus dengan oligarki menjadi faktor penolakan terhadap pilkada Jakarta. Meski Anies mengendorse pasangan Pramono-Rano Karno, tapi faktor fundamental diri pasangan ini menjadi catatan teramat khusus. Barisan golput/gercos sama sekali tak percaya dengan pasangan Pramono-Rano Karno, meski diharapkan Anies untuk memilihnya.
Sebagian kalangan juga menilai bahwa keengganannya untuk memilih paslon nomor urut 3 Pramono–Rano, meski Anies sendiri menyatakan dukungan kepada pasangan tersebut, namun selama 10 tahun, Pramono juga dinilai sebagai bagian dari Jokowi. Hal ini juga yang membuat Rizieq Shihab dan Din Samsuddin tidak mendukung pasangan asal PDIP ini.
Sebuah pertanyaan mendasar sebagai hal kedua apakah perlawanan politik (golput/gercos) juga menunjukkan erosi atau melunturnya pengaruh Anies? Ya dan tidak. Disebut ya, karena fakta menunjukkan lebih memilih golput/gercos.
Namun, tak bisa dipungkiri, kemenangan Pram-Karno dalam pilkada Jakarta juga menunjukkan pengaruh Anies yang cukup signifikan. Barisan “anak abah” ketika memilih Pram-Karno bukan karena sepakat atau simpati pada kader PDIP itu, tapi karena menghormati peran Anies dalam kontestasi pilkada Jakarta 2024 ini.
Ketiga, sebuah pertanyaan lebih lanjut, apakah andil Anies dalam kemenangan Pram-Karno akan dicatat indah oleh Megawati? Jika dicatat indah, berarti ada makna investasi politik untuk perhelatan politik mendatang (pilpres 2029). Sekali lagi, apakah Megawati akan menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Anies karena dirinya dan partainya diselamatkan dari gerakan busuk Jokowi?
Politik sangat dinamis. Masa-masa awal usai pilkada Jakarta sangat boleh jadi, akan terlihat Megawati senyum happy. Dan di hatinya sangat boleh jadi juga mengakui kontribusi Anies dalam kemenangan pilkada Jakarta. Tapi, sejalan dengan karakter dinamis politik, maka kontribusi Anies tersebut belum tentu akan dilihat secara proporsional dalam pilpres 2029 mendatang.
Andai keputusan politiknya tidak “welcome” bagi Anies dan para anak abah sebagai hal keempat maka publik akan mencatat, “Anies kena prank politik yang luar biasa sistematis”. Sebuah renungan, apakah Anies membaca dengan jernih potensi prank itu? Mungkin dibaca. Tapi, Anies mengabaikan politik tricky itu. Yang dilihat adalah komitmen Pram-Karno yang terpanggil untuk menuntaskan kerja untuk rakyat dan daerah Jakarta yang diakui Anies masih belum tuntas.
Menggaris-bawahi landasan politik Anies, hal itu menunjukkan karakter atau kepribadian Anies yang tulus dalam arah kepentingan publik. Tapi, Anies lupa, politik itu kejam.Egois. Sebesar apapun andil atau kontribusinya akan dianggap tiada manakala berhadapan dengan kepentingan sempit pribadi dan atau partainya.
Dengan positioning Pramono sebagai Gubernur Jakarta, posisi ini menjadi alat tawar. Dan Megawati akan cenderung memilih kadernya sendiri, tanpa melihat ke belakang (andil Anies dalam pilkada Jakarta). Dengan kecenderungan itu, maka Anies pun akan terjebak: mau maju lagi sebagai capres 2029, berarti harus masuk ke kandang PDIP. Dan itu artinya, Anies harus merelakan diri sebagai “petugas partai”.
Dilematis. Sebab, Anies akan tetap committed sebagai petugas rakyat, bukan golongan, sekalipun bernama partai. Komitmen ini haruslah menyadarkan Anies: Anies tetap harus berpartai politik. Tanpa kejelasan ini, Anies akan tetap menjadi komoditas politik para elitis partai. Perlu kita catat, pilpres 2024 lalu tak bisa dijadikan acuan rigid. Justru kegagalannya maju pilkada Jakarta menjadi pelajaran berharga. Yaitu, hanya satu opsi: masuk ke partai politik yang telah eksis atau mendirikan partai politik baru.
Belum lama ini, terdapat suara menggema. Partai NasDem menawarkan Anies sebagai pengganti Surya Paloh. Jika itu terjadi, maka setidaknya ada dua konsekuensi. Pertama, Anies berpotensi besar maju dalam pilpres 2029. Potensi kemenangan ada. Tinggal menggalang kekuatan sistematis dan terencana pada gerakan anti cawe-cawe penguasa di berbagai lini, termasuk kekuatan strategis dari basis kekuatan “Coklat dan Hijau” yang memang bermain proaktif dan intimidatif. Bukan cerita fatamorgana keterlibatan aparat itu, termasuk ASN.
Namun demikian, andai Anies mengganti Surya Paloh, sama artinya Anies masuk dalam hubungan emosional dan kepentingan strategis oligarki. Inilah tantangan moral Anies yang tidak mudah dielaborasi atau dikompromikan. Ada benturan moral dalam menatap kepentingan nasional.
Untuk mempertahankan idealisme yang sudah mendarah daging, maka haya satu opsi bagi Anies. Yaitu, merestui dan masuk bersama Partai Perubahan yang sudah dideklarasikan pada 10 November lalu. Jika itu terjadi, Anies akan senafas dengan ruh fundamental Partai Perubahan ini.
Jika itu terjadi, kendala politiknya langsung menghadang: Anies tidak magnetik lagi bagi partai-partai lainnya. Para elitis sulit untuk mengusung Anies sebagai capresnya pada pilpres 2029. Kita tahu, partai-partai yang mengusung Anies jelas mengharapkan elektoralnya. Tak peduli dengan sebutan eksploitase terhadap ketokohan Anies. Yang penting, vested interestnya (electoral) tercapai. Dan fakta bicara, NasDem, PKB dan PKS menikmati sentimen positif Anies itu.
Meski demikian, andai Anies fight bersama Partai Perubahan, maka yang akan muncul adalah potensi besar untuk melenggang dalam pilkada Jakarta 2029, karena sudah memiliki kursi di parlemen melalui pemilu 2029 sebelum pilkada. Ini berarti, Anies harus menanti 10 tahun lagi untuk mengikuti pilpres. Namun, peluang untuk ikut pilpres 2029 tetap terbuka, tapi dalam posisi sebagai cawapres. Maukah Anies? Semuanya akan dikalkulasi dengan jernih.
Itulah catatan reflektif topografi politik yang kita hadapi. Dari gerakan golput atau gercos, kita tak bisa mengabaikan perjalanan politik Anies ke depan. Penuh liku memang. Karena medan politiknya memang sangat terjal. Dan itu konsekuensi logis dari panorama politik nasional yang sudah tercengkeram oleh kekuatan oligarki dan para anteknya.
Penulis: Analis Politik