Semua catatan tersebut bukan hanya merusak masa depan negara dan bangsa ini, tapi benar-benar membentur konstitusi dan prinsip demokrasi. Karena itu, sudah saatnya ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan negeri kita. Pasal 222 terkait PT pada UU No. 7 Tahun 2017 itu tak sepantasnya dipertahankan. Dalih untuk menyederhanakan jumlah kontestan pemilu untuk memperkuat sistem presidential tak sejalan dengan spirit demokrasi yang harusnya diperjuangkan lebih berkualitas.
Bagaimana pun, suara rakyat harus diakomodasi, meski beda pilihan partai dan sosok kandidat presiden. Dan yang jauh lebih memprihatinkan adalah ketentuan ABK benar-benar mengubur kandidat terbaik bangsa dan negara, yang saat ini justru kita sangat butuhkan. Haruskah kita bahu-membahu dalam menciptakan masa depan negara yang makin suram, bahkan hancur? Perlu dipertanyakan akal sehat itu jika merapatkan diri dan berjuang ekstra keras untuk mempertahankan ABK itu.
Sebuah renungan politik, apakah kita rela gadaikan atau bahkan lepaskan negeri ini ke pihak asing atau persekongkolan asing-asong? Jika jelas-jelas arahnya ke sana, maka seluruh elemen bangsa ini, terutama dari komponen TNI tak boleh diam. Sumpah Sapta Marga TNI harus ditunjukkan NKRI harga mati. Tak boleh sejengkal pun dari wilayah negeri ini jatuh ke pihak lain. Sebagai anak bangsa, tentu harus selalu berada bersama aparat keamanan yang berjibaku untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini. Tak ada kompromi. Inilah saat tepat untuk uji nasionalisme sejati.
Sekali lagi, sebagai kekuatan sipil, layak bersuara lantang untuk bangkitkan kesadaran patriotis-nasionalistik, meski melalui lembaga hukum (MK) dan opini publik yang memang harus dihembuskan secara produktif. Bukan provokasi. Tapi, kita semua harus manyadari bersama tentang tingkat bahaya mempertahankan ABK 20% itu bagi kepentingan bangsa dan negara ke depan.
Sementara, seluruh elemen masyarakat pun harus cerdas: jauhkan diri dari kandidat presiden yang secara rekam jejak berandil besar dalam upaya sistimatis melestarikan ABK 20% itu. Diperlukan kesadaran jihadiyah yang ekstra, penuh kalkulasi jernih. Bukan asal nderek atau taklid buta. Itulah karakter manusia berakal sehat.
Punulis: Analisis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia