BANDUNG, Mediakarya – Kelompok Kerja Raudlatul Athfal (KKRA) terima proposal kerjasama dengan Sistem Pengisian Raport (SIPRA). Selanjutnya, SIPRA diajukan ke Kabid Madrasah Kementerian Agama Jawa Barat. Saat itu dijabat Asep Lukman, yang kini menjabat Kemenag Ciamis. Dia menyetujui SIPRA itu. Belakangan, SIPRA menuai reaksi. Banyak pengguna SIPRA keberatan (complain).
Pasalnya, harga program itu tergolong mahal, yakni @ Rp 500.000. Sebab harga produk tersebut belum termasuk snack, makan siang dan tempat pelatihan.
Salah satu sumber pengguna SIPRA yang tak mau disebut identitasnya mengaku bahwa dirinya keberatan, bukan hanya masalah besaran harga program yang mahal, tapi juga rumit digunakan. Saat menggunakan SIPRA pun harus disertai bimbingan langsung via zoom.
“Namun demikian, ada di antara kami terpaksa menggunakan program tersebut karena terpaksa,” ujar sumber kepada media ini, Senin (4/11/2024).
Lebih dari itu, lanjut narasumber tersebut, menyatakan, produk yang berbasis teknologi informasi itu harusnya bisa diakses secara digital. Ternyata, banyak pengguna yang tak bisa membukanya. Lebih dari itu, penggunaan SIPRA harus memakai kuota (harus nyambung dengan internet). Artinya, harus ada biaya tersendiri,” ungkap sumber.
Menambah keberatan lagi, dalam menysosialisasikan SIPRA, KKRA dinilai menggunakan cara-cara yang tidak transparan.
Dirinya mempertanyakan, jika produk SIPRA gratis, mengapa pelatihannya harus berbayar. Padahal antara produk dan pelatihan itu satu paket.
“Jadi, kami menilai KKRA dalam mensosialisasikan SIPRA sedari awal sudah menunjukkan sikap yang tidak transparan. Ada kesan menutup-nutupi hal yang sebenarnya. Terlihat ada unsur penipuan,” ucap sumber.
Mencermati keberatan sejumlah lembaga atas penggunaan program SIPRA yang diduga sarat intrik dan berbau penyalahgunaan wewenang dan korupsi, LSM Hukum Jamin Rakyat (HAJAR) Indonesia pimpinan Advokat kenamaan, Dr. Farhad Abbas, SH. MH menyatakan siap membantu para korban atas persoalan hukum, terkait pidana ataupun perdata.
Ibnul Kahfi, selaku Sekjen Hajar meminta agar Kementerian Agama Jawa Barat menindak tegas oknum yang mengambil keuntungan dalam program tersebut, bila perlu menyetop progam SIPRA. Hal itu guna kepentingan lembaga-lembaga RA di seluruh Jawa Barat, khususnya.
“Dan juga, untuk menjaga martabat Kementerian Agama Jawa Barat yang bersih dari celah kolusi atau gratifikasi. Karena kami menilai tidak ada manfaat teknisnya, vendor SIPRA haruslah mengganti kerugian bagi seluruh pengguna,” Ibnu.
Oleh karenanya, kata Ibnu lagi, jika ada pihak (oknum) yang keberatan dengan keinginan penyetopan itu, patut diduga adanya penyalahgunaan kewenangan karena merasa kepentingannya terganggu, dalam jangka pendek atau jangka panjang.
“Kami siap membantu secara hukum jika muncul reaksi negatif dari oknum atau siapapun yang menyalahgunakan kewenangan dan tindakan tak terpuji lainnya. Hal ini sudah memasuki wilayah pidana,” tegasnya.**