JAKARTA, Mediakarya – Kewenangan polisi dalam melakukan teknik investigasi undercover buying atau control delivery sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika dinilai telah melenceng dari tujuan semula.
Undercover buying yang seharusnya dapat membongkar jaringan atau sindikat peredaran gelap narkoba justru kerap menjadi “ajang penjebakan”. Bahkan tak hanya menyasar pengguna, namun juga anggota kepolisian ikut menjadi korbannya.
Salah satunya yang dialami oleh Brigpol Fathurrahman, anggaran Reserse Narkoba Polda Kalteng. Dia diduga menjadi korban penjebakan oleh sesama anggota Reserse Narkoba Polda Kalimantan Tengah.
Brigpol Fathurrahman, melalui kuasa hukumnya, Rusdi Agus Susanto, S.H., menyebutkan bahwa kliennya diduga menjadi korban penjebakan atas kasus narkoba yang berujung pada pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kliennya dari anggota Polda Kalteng.
Pihaknya juga mengapresiasi kinerja Div Propam Mabes Polri melalui Propam Polda Kalteng yang memberikan perhatian serius terhadap kasus dugaan penjebakan terhadap Brigpol Fathurrahman, sehingga dilakukan penyidikan terhadap sejumlah oknum Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalteng.
Dimana dalam sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) di Propam Polda Kalteng, dua oknum oknum yang diketahui berinisial Brigpol TW dan Kompol AS diduga ikut terlibat dalam kasus penjebakan tersebut. Bahkan, berdasarkan informasi dari kliennya, bahwa Kompol AS menyebut bahwa dirinya menggunakan penjebakan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UU Narkotika.
“Namun dalam konteks ini klien kami dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai anggota Reserse Narkoba Polda Kalteng. Jika Kompol AS melakukan dugaan penjebakan terhadap klien kami berdasar UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang UU Narkotika, tentunya ini merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh undang-undang,” tegas Rusdi dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Sabtu (19/7/2025).
Dia pun menyebut bahwa sidang Komisi Kode Etik Polisi di Polda Kalteng diharapkan akan membuka kotak pandora dibalik peristiwa dugaan penjebakan yang mengakibatkan Brigpol Fathurrahman mendapatkan sanksi pemecatan dari institusi kepolisian.
Menurutnya, kasus dugaan penjebakan terhadap Brigpol Fathurrahman itu bukan hanya membunuh karier dan masa depannya, namun juga mencederai institusi Polri di tengah upaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mengangkat citra Korps Bhayangkara di mata publik.
“Meski ada stigma negatif terhadap institusi Polri, tapi saya yakin masih banyak anggota polisi yang berintegritas. Jadi, terkait dengan sidang KKEP, diharapkan jadi pintu masuk bagi Propam Polda Kalteng untuk membuka kotak pandora di balik peristiwa tersebut. Selain itu publik juga berharap agar hakim yang mengadili kasus ini lebih objektif. Karena jika tidak, institusi Polri akan menjadi pertaruhan, karena jutaan pasang mata dan telinga mengikuti kasus ini, ” ujar Rusdi.
Dengan digelarnya sidang etik terhadap dua oknum anggota Polda Kalteng, diyakini akan menjadi babak baru dalam kasus dalam mengungkap kasus di balik peristiwa hukum yang menjerat Brigpol Fathurahman, dan diharapkan pula Propam Polda Kalteng dapat memberikan sanksi yang setimpal terhadap oknum polisi yang diduga ikut terlibat dalam peristiwa penjebakan tersebut.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat beberapa teknik investigasi untuk membongkar jaringan atau sindikat peredaran gelap: pembelian terselubung (undercover buying) atau penyerahan di bawah pengawasan (control delivery).
Pembelian terselubung misalnya dilakukan dengan menyamar atau menyusup ke dalam geng atau mafia peredaran ilegal narkotika guna mengumpulkan bukti-bukti.
Sedangkan penyerahan di bawah pengawasan berarti polisi membiarkan transaksi narkoba terjadi sembari mengawasi penyerahan narkoba yang terkait dengan tindak pidana.
Dengan begitu orang-orang yang berkaitan dengan peredaran maupun jual-beli narkotika itu bisa ditangkap beserta barang bukti yang ada padanya.
Kedua teknik investigasi tersebut harus berdasarkan perintah tertulis dari pimpinan setelah mengantongi pola, aktor, metode dan jaringan yang terlibat.
Mengutip pernyataan peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Ginting. bahwa dalam UU Narkotika tidak mengatur bagaimana kedua kewenangan itu dilaksanakan dalam konteks hukum acara pidana.
“Dampaknya terbuka peluang terjadinya penjebakan atau rekayasa dan itu haram dilakukan aparat penegak hukum,” katanya.
Penelitian ICJR menemukan setidaknya ada tiga pertanda polisi melakukan penjebakan.
Pertama, si polisi merupakan inisiator terjadinya penyerahan narkotika tersebut. “Misalnya polisi membujuk si pelaku untuk membeli atau menjual barang itu,” jelasnya.
Kedua, jika hal itu sulit diungkap karena alasan rahasia maka cara lain yang bisa menandakan terjadinya praktik penjebakan adalah saksi yang diajukan ke persidangan adalah anggota polisi yang menangkap.
“Karena polisi punya kepentingan di kasus itu, polisi mendapat reward (penghargaan) jika bisa menangkap kasus narkotika,” ujarnya.
Ketiga, orang yang menyerahkan narkotika kepada korban penjebakan dibiarkan bebas atau statusnya buron.**