Quo Vadis Reformasi Kepolisian?

Logo Polri (Ist)

Oleh: Agus Wahid (Analis Politik dan Kebijakan Publik)

Berbagai elemen mendesak. Kapolri Listyo Sigit Prabowo perlu segera diganti. Argumentasinya sederhana. Dia salah satu geng Solo. Atas nama perintah Jokowi, telah banyak merusak atau menghancurkan keberadaan negeri ini. Dan hingga kini, Kapolri terus melindungi Jokowi dan keluarga besarnya. Kita saksikan, Presiden Prabowo belum menggantinya, meski sinyalnya sudah demikian kuat.

Yang menarik adalah, Presiden Prabowo justru mengangkat (melantik) Tim Penasehat Khusus Presiden Bidang Reformasi Kepolisian. Di antaranya, mantan Wakil Kepala Kepolisian Ahmad Dofiri.

Perlu kita catat, strategi Prabowo menggambarkan langkah matang. Tidak reaksioner. Tidak grusa-grusu. Semuanya dikalkulasi. Tampaknya, di mata Prabowo, yang sangat substantif dalam persoalan kepolisian bukan hanya terletak pada kepalanya semata, tapi sistem managemen kepolisian yang sudah rusak dan sistemik.

Maka, arah besar dari kajian mendalam bidang reformasi kepolisian sejatinya mengkaji praktik managemen yang sudah akut salah kaprahnya. Seperti yang pernah disampaikan mantan Wakapolri Oegroseno yang sempat tayang di media sosial, sejak Jokowi “manggung” sebagai Presiden, tatanan atau prosedur pengangkatan kepala kepolisian benar-benar dirusak.

Dia mengangkat Kapolri dengan mengabaikan angkatan dalam pendidikan: Akademi Kepolisian, di antaranya mengangkat Tito Karnavian dan Listyo Sigit Prabowo. Bisa dibayangkan, melangkahi tiga bahkan sampai lima angkatan. Sementara, Kapolri Idham Aziz yang tergolong bagus kinerjanya, tiba-tiba diganti, padahal belum habis masa pensiunnya. Hanya karena memaksakan Tito kala itu.

Yang perlu kita catat lebih jauh, bukan hanya melangkahi beberapa angkatan, tapi dampaknya. Pertama, sejumlah jenderal yang lebih tinggi angkatannya hilang kesempatan untuk menggapai karir terpuncak di lembaga kepolisian yang dibanggakannya. Dampaknya adalah reposisi yang praktis tak berjob. Tak punya meja. Jadilah “pengangguran” formil. Bergaji tapi sejatinya tak bekerja. Dampak kontigionnya, terjadi pengalihan tugas ke pihak swasta.

Perlu kita garis-bawahi, keberadaan para kombes yang sudah bermigrasi ke swasta jelaslah telah merugikan waktu dan bahkan dana taktis selama ini dalam Pendidikan formal dan meniti karir. Setidaknya, kecakapan atau ketrampilan teknis yang terbangun menjadi useless (tak digunakan). Hal ini sejatinya merupakan proses pelemahan angkatan kepolisian itu sendiri. Apakah kondisi by design?

Yang lebih memprihatinkan adalah, para kombes yang dialihtugaskan ke perusahaan-perusahaan swasta menjadi problem besar ketika para taipan itu melebarkan sayap bisnisnya yang kebetulan berhadapan langsung dengan hak-hak rakyat.

Apakah panorama “pengangguran para kombes bahkan jenderal tapi tetap bergaji lalu dipindahtuagskan ke perusahaan-perusahaan taipan” harus dibiarkan? Tentu tidak. Jika membiarkannya, sampa artinya memproses penyiapan jangka panjang untuk kepentingan para taipan. Dan ini berarti megaproyek degradasi citra dan wibawa bahkan peran kepolisian di hadapan negara dan rakyat. Karena itu, budaya nepotisme dalam masalah pengangkatan jabatan dan karir harus dirombak secara mendasar. Reformasi sistem ini mutlak. Untuk memulihkan keberadaan kepolisian. Juga, untuk negara dan rakyat.

Karena itu pula, jika tak ada reformasi, janganlah heran ketika kita saksikan para “migran” jenderal di perusahaan-perusahaan taipan memanggil atau menginstruksian aparat kepolisian untuk menghadapi massa yang menentang proyek-proyek para “Bosnya”. Terjadilah benturan fisik rakyat versus aparat kepolisian. Inilah yang kita saksikan pada sejumlah megaproyek perusahaan taipan yang akhirnya membiarkan konflik horisontal aparat versus rakyat.

Itulah dampak jauh dari rotasi jabatan yang tidak proporsional dan mengabaikan etika. Dan semua ini perlu kajian mendalam. Arahnya, tak boleh terjadi persoalan reposisi atau pengangkatan karena faktor nepotisme.

Jika kita cermati lebih jauh, persoalan posisi dan atau penempatan personel acap kali didasarkan “pelicin”. Untuk mengukiti pendidikan perwira pun harus pakai pelicin. Tidak dana pelican, jangan harap ada perubahan yang tepat, meski ia cakap bahkan jujur. Menurut catatan informal, hampir seluruh mata rantai pengangkatan dan atau mutasi ke tempat yang lebih baik tak pernah lepas dari nuansa gratifikasi. Menyogok menjadi budaya yang inheren di tengah lembaga kepolisian.

Jika hal itu dibiarkan, maka akan terjadi stagnasi personal di satu tempat yang menjadikan dirinya miskin pengalaman. Juga, hanya akan mengantarkan peta kecemburuan sosial, karena siapa yang mampu sogok besar, ia berpotensi menduduki jabatan yang diincarnya. Semua ini akan menjadikan linkaran setan, yang  pada akhirnya mendegradasi kemampuan personal, bahkan etikabilitasnya.

Dan satu hal yang harus dicatat, mata rantai itu akan menjadikan lembaga kepolisian terus terkepung budaya korupsi yang makin ganas. Implikasinya, akan ogah menjalankan pengabdiannya untuk rakyat jika tak terima imbalan material. Akibatnya, kepentingan seluruh rakyat tak akan terlayani, kecuali mereka mau menggelontorkan dana khususnya. Jadilah, lembaga kepolisian yang bobrok dan korup.

Haruskah dibiarkan malpraktik kebijakan atau budaya bobrok itu? No and no forever

Satu lagi yang perlu kita riview. Zaman Kapolri Tito Karnavian, muncul geng Sambo yang demikian powerful dalam satuan Polri. Dia atas mandat Kapolri Tito Karnavian  diberi tugas serbagai Ketua Satgasus Merah Putih. Satuan ini sungguh mengerikan. Para personelnya mendapat tugas khusus untuk terus mengintai rakyat yang berseberangan dengan rezim Jokowi. Karena itu tidaklah mengherankan ketika banyak elemen umat (termasuk Habib Riziq Shihab) terus diincar, sampai akhirnya terbantai enam pemuda anak buahnya dengan cara yang demikian sadis di Km 50 Toll Cawang – Cikampek, sekitar jam 01:30, 7 Desember 2020.

Satgasus itu pun disalahgunakan untuk melindungi situs dan kegiatan judi online (judol). Jadi, Satgasus Merah Putih ini cukup lengkap. Tidak hanya membantai masyarakat sipil yang berseberangan, tapi juga membantai mental masyarakat. Yang harusnya memberantas judol, tapi justru melindungi. Dan kabar yang lebih mengerikan adalah Satgasus ini juga menjadi penampung hasil penggeberakan narkoba.

Tragedi penembakan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi pintu masuk untuk membongkar geng Sambo, dalam kaitan mafia kekuasaan di tengah internal kepolisian, memegang kendali peredaran narkoba dan judol. Semua itu – sekali lagi, melalui tragedi penembakan terhadap Ferdy Sambo terhadap Josua – menjadikan gugus Sambo – Tito terkuak. Di sana kita saksikan, Amhad Dofiri punya peran besar: berani dan berhasil membongkar kejahatan super kejam itu.

Akhirya, kita bisa membaca, Prabowo menyadari persoalan di kepolisian itu sudah sangat sistemik. Kulturnya “busuk”. Harus dibanahi. Maka, reformasinya tidak cukup dengan mengganti atau mencopot kapolri, tapi harus by system. Dengan pendekatan reformasi sistem, maka kelembagaan POLRI masih seperti sekarang: tidak di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri. Memang masih dalam kendali Presiden, tapi dalam pantauan Tim Khusus Presiden, yang koordinasinya dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam). Langkah yang elegan.

Kita bersyukur, orang-orang yang diberi amanah sebagai Tim Reformasi Kepolisian itu orang-orang berintegritas, jujur dan punya kecemasan yang mendalam tentang masa depan POLRI. Mereka tahu persis lika-liku dan sejumlah permainan nakalnya. Sunguh tepat. Dan selamat untuk Ahmad Dofiri dan Oegroseno untuk misi mulia reformasi kepolisian itu. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *