Politik identitas yang didasarkan pada ikatan primordial, disebutkan Fathul, akan dengan mudah menggantikan politik kewarganegaan, dan wawasan kebangsaan menjadi terdesak.
Ia menyadari bahwa perbedaan identitas adalah fakta sosial dan merupakan “sunatullah”, meski demikian dalam berinteraksi perlu dibalut nilai-nilai agung, termasuk kesetaraan sesama anak bangsa, apapun latar belakangnya.
Sebagai bangsa yang plural, Fathul menegaskan bahwa bangsa Indonesia sejak kelahirannya sudah kaya dengan perbedaan.
Karenanya, ia berharap jangan sampai persatuan bangsa tergadaikan untuk kepentingan kelompok manapun dengan mengabaikan kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa.
“Tidak boleh ada sekelompok anak bangsa yang merasa paling unggul dan merendahkan liyan. Apapun dalihnya. Semua anak bangsa harus dilihat setara. Pengkhianatan kepada nilai kesetaraan akan menyemai benih ketidakpuasan, ketidakpercayaan, dan buah pahitnya adalah perpecahan anak bangsa,” tutur Fathul. (q2)