Reposisi Polri di Bawah Kementerian Mereduksi Supremasi Sipil dan Kendali Presiden

Oleh: R Haidar Alwi

Wacana menempatkan Polri di bawah kementerian kembali mengemuka seiring dengan pembentukan Komite Reformasi Polri. Isu yang berkembang ini tidak hanya mencakup kelembagaan, tetapi juga menyentuh inti dari tatanan demokrasi dan supremasi sipil yang menjadi fondasi politik pasca reformasi 1998.

Reposisi Polri di bawah kementerian, apa pun bentuknya, sama artinya dengan mereduksi peran dan kedudukan sipil di dalam sistem pemerintahan. Langkah tersebut bukan sekadar persoalan administrasi birokrasi, melainkan persoalan filosofis dan konstitusional yang berpotensi menggeser keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer yang telah dengan susah payah dibangun sejak dua dekade terakhir.

Pasca reformasi, semangat utama pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia adalah untuk memastikan bahwa kekuasaan negara berada di bawah kendali sipil.

Dalam arsitektur itu, Polri Ditempatkan langsung di bawah Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, sedangkan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan untuk memastikan pemisahan yang tegas antara fungsi militer dan fungsi kepolisian.

Polri mewakili sipil yang tunduk pada hukum sipil dan demokrasi, bukan pada hierarki militer. Oleh karena itu, menempatkan Polri di bawah kementerian, siapa pun menterinya, berarti menghapus garis pembatas yang menjadi ciri fundamental demokrasi pasca reformasi.

Ironisnya, wacana ini muncul di saat militer justru tengah mengalami penguatan dan perluasan fungsi melalui Revisi UU TNI. Di tengah situasi seperti itu, upaya menurunkan posisi Polri menjadi di bawah kementerian akan menciptakan asimetri baru antara institusi sipil dan militer.

Polri yang seharusnya menjadi instrumen utama negara dalam penegakan hukum dan keamanan dalam negeri justru akan kehilangan independensinya, sementara TNI mendapatkan ruang yang semakin besar dalam ranah sipil.

Dalam konteks demokrasi modern, hal itu dapat dianggap sebagai hal yang buruk, karena prinsip supremasi sipil menuntut agar institusi sipil, bukan militer, berada pada posisi lebih tinggi dalam tata kelola negara.

Dampaknya tidak hanya pada tataran kelembagaan, tetapi juga pada kekuasaan Presiden itu sendiri. Polri selama ini merupakan instrumen eksekutif yang paling strategis dalam menjaga stabilitas nasional dan memastikan penerapan kebijakan berjalan efektif.

Di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri berperan signifikan dalam menjaga keamanan, menekan konflik sosial, dan mendukung agenda besar pemerintahan Prabowo-Gibran seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan swasembada pangan.

Kedua program unggulan ini tidak akan berjalan tanpa dukungan stabilitas sosial-politik di daerah di mana Polri memainkan peran yang tak tergantikan.

Jika Polri kemudian ditempatkan di bawah kementerian, garis komando Presiden terhadap aparat keamanan nasional akan tereduksi. Presiden tidak lagi memiliki kendali langsung terhadap kekuatan penegakan hukum yang penting bagi stabilitas pemerintahan.

Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi efektivitas pemerintahan itu sendiri, terutama dalam konteks negara besar seperti Indonesia yang memerlukan kecepatan pengambilan keputusan di bidang keamanan dan penegakan hukum.

Reposisi semacam itu pada akhirnya justru akan mengurangi kapasitas Presiden Prabowo dalam menjaga kohesi nasional dan menjalankan agenda pembangunan yang bergantung pada stabilitas keamanan.

Oleh karena itu, pembentukan Komite Reformasi Polri seharusnya tidak diarahkan untuk mendorong DPR mengubah struktur fundamental Polri dari institusi sipil di bawah Presiden menjadi di bawah kementerian.

Reformasi yang diperlukan bukanlah reposisi kelembagaan, melainkan penguatan tata kelola internal Polri agar lebih profesional, transparan, dan akuntabel.

Reposisi Polri di bawah kementerian bukanlah bentuk reformasi, melainkan kebijakan yang berisiko merusak keseimbangan sipil-militer dan menggerus kekuasaan konstitusional Presiden. Dalam negara demokrasi, supremasi sipil bukan sekadar prinsip hukum, tetapi inti dari legitimasi kekuasaan itu sendiri.

Penulis: Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *