Sisi Lain di Balik Kasus Hukum Rahmat Effendi

Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, saat menjajal alat pencacah sampah manual

Namun angka tersebut tidak tercatat secara formal oleh KPU atau KPK. Seperti misalnya dana Kampanye Gubernur Nurdin Abdullah yang menurut catatan KPU sebesar Rp 11 Miliar (KPU, 2018).

Pengeluaran dana kampanye yang tercatat berdasarkan laporan penerimaan dana kampanye (LPPDK) kepada KPU, juga jauh dari realita bila melihat kandidat-kandidat lainnya.

Artinya, terdapat proses “di belakang” antara kandidat dan parpol, dalam pengeluaran dana kampanye.
Pencalonan kepala daerah lewat minimal 20% kursi parpol di DPRD, juga turut menaikkan angka biaya politik.

Walaupun tidak secara formal, seorang kandidat perlu memberikan kontribusi kepada partai pengusung yang seringkali berbentuk uang mahar.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa parpol memiliki posisi tawar tinggi dalam fenomena ini, khususnya yang memiliki kursi di DPRD, yang membuat kandidat akhirnya terpaksa memberikan uang mahar kepada parpol guna pencalonannya.

Terkait dengan OTT KPK yang melibatkan Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi, publik tentunya bisa melihat dengan jernih.

Persoalan hukum biarlah berjalan dan dipercayakan kepada lembaga anti rasuah sebagaimana semangat KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Benar atau salah biar nanti pengadilan yang memutuskan. Dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah, publik pun tidak bisa menghakimi kesalahan yang dilakukan oleh mantan orang nomor satu di pemerintahan Kota Bekasi itu.

Segala karya dan kinerja Rahmat Effendi selama memimpin Kota Bekasi perlu diapresiasi. Namun demikian, proses penegakkan hukum akibat dugaan tindak pidana yang dilakukannya perlu dikawal dengan baik agar memenuhi rasa keadilan.

Penulis: Redaktur Mediakarya.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *