Tancapkan Ekonomi Pancasila di Bumi Pertiwi

Oleh: Irma Syuryani Harahap | (Peneliti Senior di Banrehi)

Beberapa hari ini pikiranku melayang entah ke mana. Ia meninggalkan tubuhku, berkelana ke langit luas, mengikuti jejak semesta. Aku termenung, mencoba memahami apa yang mengusik batin ini. Barangkali karena terlalu lama aku tidak menulis kalimat-kalimat azimat—kata-kata berduri yang biasanya kupakai untuk menusuk tajam kaum bandul neolib yang sudah menancap dalam-dalam di tanah airku.

Aku gelisah. Apa yang harus kutulis agar paham neoliberalisme ini sirna dari kepala para ekonom kita? Ia sudah menempel kuat di pikiran, di undang-undang, dan di gelanggang perdagangan yang kini tunduk pada pasar bebas. Seandainya neoliberalisme itu seekor lalat atau tikus, mudah saja kita basmi dengan racun. Tapi ia bukan makhluk kecil—ia menjelma manusia, sistem, bahkan ideologi yang beranak-pinak di kepala bangsa ini.

Ekonomi Pancasila yang Diterkam Neoliberalisme

Paham ekonomi neolib menancap tajam, mengikis akar ekonomi Pancasila. Kita menulis untuk melawan, tapi mereka juga menyerang balik dengan teks dan kebijakan. Kadang aku ingin berteriak sekeras-kerasnya ke seluruh pelosok negeri: “Bangunlah! Kembalilah mencintai tanah air sebagaimana dulu para pendiri bangsa memperjuangkannya_ !”

Masihkah kita punya nurani ketika makan enak sementara banyak yang lapar? Ketika kita tidur di kasur empuk sementara ada yang beralaskan koran di pinggir jalan, di kolong jembatan, di atas gerobak? Tuhan, beginilah wajah Indonesia hari ini. Ada yang membeli mobil mewah tanpa berkeringat sedikit pun, sementara rakyat kecil harus bertaruh nyawa demi sesuap nasi. Kadang seseorang dipenjara hanya karena mencuri sepotong roti untuk anaknya.

Apa yang salah dengan kita?

Bangsa ini dahulu bersatu karena menolak ditindas penjajah. Tapi kini, sejarah itu seperti iklan di televisi—datang sebentar, lalu lenyap tanpa makna. Kita sibuk menyelamatkan diri dan keluarga, lupa bahwa ada 280 juta jiwa yang harus ditanggung negara. Negara seolah absen meneduhkan rakyatnya. Di mana janji konstitusi yang tertulis di Pasal 33 dan 34 UUD 1945? Di mana amanat untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar?

Hatiku menyala-nyala. Aku ingin marah, tapi entah kepada siapa.

Kita Lupa Warisan Pemikiran Bangsa

Dalam kegelisahan ini aku menelusuri kembali teks-teks lama, buku-buku ekonomi kerakyatan, warisan pemikiran Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Cokroaminoto, hingga Sumitro. Namun, nama-nama besar itu kini hanya jadi catatan kaki di pelajaran sekolah. Kita tak lagi menanam benih pemikiran mereka dalam kurikulum, tak lagi mengaji gagasan hebat itu di perguruan tinggi.

Maukah kalian membangkitkan lagi semangat mereka—agar bangsa ini kembali berdiri di atas prinsip senasib sepenanggungan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing?

Bolehlah kita berinteraksi dan berjejaring dengan bangsa lain, tetapi jangan biarkan lobi-lobi neolib menumpulkan akal sehat kita. Berpikirlah cerdas dan universal, sebab bangsa ini harus diselamatkan dengan jalan yang diajarkan oleh founding fathers kita: ekonomi Pancasila.

Pisau yang Bernama Ekonomi Pancasila

Ekonomi Pancasila bukan sekadar konsep, melainkan pisau tajam yang harus menancap kokoh dalam tubuh ekonomi nasional. Seperti yang dikatakan Revrisond Baswir dan Yudhie Haryono, “Pisau Ekonomi Pancasila” adalah alat untuk:

  • Memotong praktik ekonomi yang eksploitatif.
  • Menembus dominasi pasar bebas yang tidak adil.
  • Mengiris ketimpangan sosial dan ekonomi akibat neoliberalisme.

Pisau ini juga berfungsi sebagai:

Exit mobile version