Tanpa Kemiskinan Itulah Ekonomi Indonesia

Potret kemiskinan masyarakat di Jakarta. (Ist)

Dengan dokumen itu, kemiskinan di Indonesia bukan sekadar angka dalam laporan ekonomi; bukan iklan dan promosi kenaikan pangkat para pejabat; bukan hal biasa, tetapi “musuh bersama” yang harus segera dimusnahkan.

Jika kemiskinan hari ini masih eksis, itu merupakan cermin ketimpangan struktural yang menandakan kegagalan sistem pembangunan nasional dalam mendistribusikan hasil ekonomi secara adil. Karenanya, Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial hadir sebagai koreksi atas paradigma pembangunan lama yang hanya berorientasi pada pertumbuhan.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan bukan program karitatif, tetapi mandat konstitusional negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Maka, negara tidak lagi cukup hadir dengan kebijakan bantuan sesaat, melainkan wajib membangun sistem ekonomi yang membuka akses terhadap sumber daya, pekerjaan, pendidikan, dan modal.

RUU ini menuntut agar subsidi dan pembiayaan negara diarahkan secara tepat sasaran, berbasis kinerja, serta berpihak kepada pelaku ekonomi kecil dan pekerja produktif. Fokus utamanya bukan memberi bantuan konsumtif, tetapi menciptakan kemandirian ekonomi warga negara melalui industrialisasi padat karya, penguatan koperasi, dan peningkatan kapasitas wirausaha daerah.

Arah kebijakan fiskal dalam RUU ini ditekankan sebagai alat pemerataan, bukan sekadar stabilitas makroekonomi. Anggaran negara harus digunakan untuk memperkuat pendidikan, layanan kesehatan, serta mengembangkan ekonomi produktif di daerah tertinggal.

Pendekatan berbasis manfaat menjadi pijakan agar setiap pengeluaran publik menghasilkan pertumbuhan yang adil dan nyata mengurangi kesenjangan sosial. Kebijakan fiskal diarahkan agar pembangunan tidak lagi terpusat di kota besar, tetapi menjangkau wilayah pinggiran yang selama ini terabaikan.

Untuk mencapai tujuan itu, RUU ini menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Dunia usaha tidak boleh beroperasi secara eksklusif, tetapi menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional melalui kemitraan dengan UMKM dan koperasi. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan mampu memperluas lapangan kerja, memperkuat rantai pasok lokal, dan menumbuhkan industri nasional berbasis sumber daya dalam negeri. Dengan demikian, pembangunan tidak lagi dikuasai oleh segelintir korporasi besar, melainkan menjadi gerakan ekonomi rakyat yang terdistribusi dan berkelanjutan.

Kebijakan pengentasan kemiskinan juga dihubungkan dengan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkeadilan ekologis. RUU ini menegaskan bahwa hasil kekayaan alam harus dikembalikan untuk kesejahteraan daerah penghasil melalui mekanisme dana bagi hasil yang proporsional.

Sumber daya alam bukan komoditas eksploitasi, tetapi instrumen pemerataan kesejahteraan. Prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi landasan agar ekspansi ekonomi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau meminggirkan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

Negara diwajibkan menciptakan lapangan kerja melalui pendidikan vokasi, insentif industri, serta transformasi ekonomi digital yang inklusif. RUU ini mengamanatkan agar target penciptaan kerja diumumkan secara terbuka dan pelaksanaannya dapat diawasi publik.

Pemerintah juga harus memastikan setiap sektor ekonomi menyerap tenaga kerja lokal secara adil. Dalam konteks ini, kebijakan redistribusi pendapatan diperkuat untuk menjamin agar hasil pembangunan tidak terkonsentrasi pada kelompok ekonomi atas, tetapi tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat.

Secara teoretis, kebijakan ini berakar pada Teori Kesejahteraan Sosial (Social Welfare Theory) dan Teori Pembangunan Inklusif yang menolak pandangan laissez-faire dan menegaskan bahwa peran negara tidak boleh netral terhadap kemiskinan. Negara harus menjadi aktor aktif yang mendistribusikan sumber daya dan memperkuat kemampuan warga negara untuk hidup produktif.

Landasan ini sejalan dengan semangat Ekonomi Pancasila, yang menempatkan keadilan sosial bukan sebagai produk sampingan pasar, melainkan sebagai mandat konstitusional yang wajib diwujudkan. Dalam kerangka ini, Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dibangun atas empat pendekatan utama, yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan manusia, serta pendekatan objektif dan subjektif.

Keempat pendekatan ini menunjukkan bahwa kesejahteraan bukan hanya soal uang, tetapi tentang martabat, kesempatan, dan kemampuan setiap warga negara untuk hidup layak dalam sistem ekonomi yang adil.

Pada akhirnya, penghapusan kemiskinan bukan sekadar tugas administratif, melainkan perjuangan ideologis, sosiologis, konstitutif dan filosofis untuk mengembalikan makna warga negara sebagai subjek pembangunan. Warga negara bukan sekadar data dalam survei kemiskinan, melainkan entitas politik yang memiliki hak ekonomi dan sosial yang dijamin oleh konstitusi.

Singkatnya, dalam negara pancasila, semua warganya adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik dan statistik. Karena itu, setiap kebijakan ekonomi harus berpihak pada manusia, bukan pada angka, sebab bangsa yang membangun ekonominya dengan menghitung manusia sebagai statistik akan kehilangan makna keadilan yang menjadi dasar berdirinya republik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *