Akademisi Desak Penegak Hukum Usut Indikasi Gratifikasi Kaesang

Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof Dr Didik J Rachbini. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Kasus Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo, yang menggunakan pesawat jet pribadi telah menjadi perhatian publik, tak terkecuali kalangan akademisi. Di antaranya Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini.

Dia menilai dalam perspektif hukum, penggunaan fasilitas mewah oleh anak pejabat negara dapat masuk sudah banyak yang mendesak untuk tidak hanya menjadi objek kritik etika dan politik, tetapi juga harus dan mutlak untuk dimajukan ke dalam ranah hukum karena sudah dalam kategori gratifikasi.  

Oleh karena itu, kata Didik, penelusuran hukum lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah ada indikasi bahwa fasilitas tersebut diterima sebagai imbalan dari pihak ketiga, terutama jika pihak tersebut memiliki kepentingan tertentu yang bisa dipengaruhi oleh keputusan ayahnya sebagai Presiden.  

“Hubungan antara Kaesang, presiden dan keluarga dengan peminjam pesawat perlu ditelusuri tidak hanya hubungannya dalam kasus pesawat jet pribadi ini tetapi juga hubungan yang pernah terjadi selama ini,” ungkap Didik seperti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Kamis (29/8/2024).

Menurut dia, demi yurisprudensi, seorang anak seorang pejabat negara, seperti anak presiden dalam kasus ini, menerima fasilitas atau uang dari seorang pengusaha atau pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu, hal tersebut bisa dianggap sebagai gratifikasi. 

“Meski anak tersebut bukan pejabat negara, namun ada kekhawatiran bahwa fasilitas atau uang tersebut diberikan dengan harapan mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pejabat terkait (dalam hal ini, presiden),” katanya. 

Lebih lanjut, kata Didik, jika hal ini dibiarkan, maka pejabat yang tengah berkuasa akan merasa leluasa untuk memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.  

“Sekarang ini momentum yang tepat, karena merupakan transisi  dimana pejabat hukum, seperti KPK, tidak perlu khawatir dan takut terhadap kekuasaan yang otoriter seperti rezim yang tengah berkuasa saat ini,” ungkap Didik.

Didik menegaskan, jika hukum dan KPK masih khawatir terhadap kekuasaan yang transisi dan lemah seperti saat ini, maka rakyat tidak perlu berharap lagi terhadap hukum yang juga rusak karena memang telah oleh dirusak kekuasaan Jokowi.  

Jadi kasus Kaesang sudah gamblang merupakan bentuk,  praktik gratifikasi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh anak-anak pejabat di era pemerintahan orde baru (Soeharto). 

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. 

“Jika gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, maka hal tersebut dianggap suap.  Lingkaran keluarga yang menerima pemberian dengan memanfaatkan kekuasaan  jelas dan gamblang juga merupakan praktik gratifikasi,” jelasnya.

Didik mengungkapkan, di Indonesia telah banyak kasus-kasus keluarga yang terlibat dalam korupsi dan gratifikasi terkait kekuasan orang tuanya (anak mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo, anak mantan gubernur Banten Ratu Atut, dan lainnya).  

“Meskipun bukan pejabat langsung yang terlibat, oknum keluarga yang memanfaatkan kekuasaan orang tuanya, maka kasus itu tidak terhindar dari hukum.  Karena itu, kasus Kaesang setelah heboh secara politik di masyarakat sebagai praktek tidak patut, maka sekarang mutlak harus masuk ke ranah hukum,” tuturnya. 

Dari sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh rezim berkuasa saat ini, Didik menilai bahwa Jokowi secara beruntun dengan kekuasaannya telah merusak hampir semua tatanan negara, pemerintahan, hukum dan bangsa. 

Didik menegaskan, jangan mengira Jokowi bersih karena tidak menerima apa pun dari pengusaha atau pihak lain, tetapi apa yang dilakukan lebih rusak dari sekedar gratifikasi karena masuk kategori “state captured corruption”. 

“Seperti tatanan hukum rusak dan hancur lebur karena membiarkan anaknya mengenyam fasilitas terindikasi tidak legal, KPK dilemahkan, hukum dipakai sebagai ancaman pengkritik atau lawannya. Jadi kasus Kaesang ini harus diusut secara serius agar hukum tegak kembali,” tutup Didik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *