“Kami menduga ini adalah bentuk nepotisme yang sistematis. Dominasi kelompok tertentu yang berasal dari yayasan milik wali kota juga terlihat di berbagai sektor, termasuk di Masjid Agung dan lembaga wakaf,” ucap Aris.
Ia menambahkan bahwa dugaan kolusi makin menguat karena salah satu anggota TKPP adalah kerabat Wali Kota yang merupakan mantan narapidana sesuai putusan Mahkamah Agung. “Tidak ada transparansi, tidak ada pendekatan meritokrasi. Ini adalah bentuk pemerintahan otoriter yang rawan mengarah pada fasisme,” tegasnya.
Aris juga mengkritisi sikap Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang dinilai tidak berani menemui massa GMNI. “Kami tegaskan, hari ini GMNI adalah oposisi organik yang akan terus bergerak sampai tuntutan kami dijawab dan dipenuhi,” ujarnya.
Di Gedung DPRD, GMNI juga menyampaikan protes atas terbitnya Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 21 Tahun 2025 yang mengatur kenaikan tunjangan DPRD Kota Sukabumi. Aris menyoroti lonjakan tunjangan rumah, transportasi, hingga tunjangan hari raya anggota dewan.
“Logikanya di mana tunjangan rumah mencapai Rp35 juta per bulan, sementara kondisi fiskal daerah belum memadai?” cetusnya.
Selain itu, GMNI mendesak DPRD untuk mempublikasikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari BPK RI Perwakilan Jawa Barat terkait anggaran 2024, termasuk temuan dan kerugian negara yang wajib dikembalikan melalui inspektorat.
Aris juga mengungkap alasan penyegelan simbolis terhadap Kantor Wali Kota.