JAKARTA, Mediakarya — Desakan publik agar Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono kian menguat. Hal ini menyusul kasus kontroversial pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, yang saat ini tengah memasuki fase pembuktian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Direktur Center for Budgeting Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menyatakan dengan tegas bahwa Sakti Wahyu Trenggono telah gagal menjalankan amanat sebagai Menteri KKP.
Ia menyebut, Trenggono tak mampu melindungi hak-hak dasar nelayan lokal, bahkan justru membiarkan praktik-praktik yang merugikan kehidupan masyarakat pesisir terus berlangsung.
“Kasus pagar laut di Tangerang itu adalah cerminan nyata dari lemahnya kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono. Ia bukan hanya gagal merespons konflik, tetapi justru membiarkan praktik-praktik kapitalistik yang mengorbankan nelayan kecil,” ujar Uchok kepada wartawan, Senin (21/7/2025).
Sengketa pagar laut yang dibangun oleh korporasi tertentu di pesisir Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, menjadi simbol dari ketimpangan tata kelola kelautan di Indonesia. Warga yang menggantungkan hidup dari laut mendadak kehilangan akses karena perairan tersebut ditutup dengan pagar besi permanen sepanjang ratusan meter.
Akibatnya, ratusan nelayan di wilayah tersebut kehilangan mata pencaharian. Mereka tak bisa lagi mencari ikan di laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan lintas generasi.
Uchok menyebut kasus ini sebagai “skandal kelautan terbesar dekade ini” yang mencerminkan konflik kepentingan antara kebijakan negara dan oligarki laut.
“Bayangkan, di republik ini ada laut yang dipagar. Itu bukan cuma pelanggaran tata ruang dan etika lingkungan, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Dan yang lebih menyakitkan, kementerian yang seharusnya membela nelayan justru diam membisu,” tegas Uchok.
Kasus ini kini masuk dalam ranah hukum setelah warga Desa Kohod mengajukan gugatan perwakilan kelompok (citizen lawsuit) terhadap KKP dan sejumlah pihak terkait. Sidang lanjutan dijadwalkan digelar pada Senin, 21 Juli 2025, dengan agenda pembuktian awal.
Kuasa hukum warga, Henri Kusuma, menyebut pihaknya siap membawa “bukti mengejutkan” yang akan menguatkan posisi warga sebagai korban ketidakadilan struktural. Meski belum mau membeberkan isi bukti tersebut, ia menegaskan bahwa akan menjadi titik balik dalam perjuangan warga nelayan.
“Ini bukan semata soal hukum. Ini tentang harkat hidup orang kecil yang haknya diinjak-injak atas nama investasi. Kami akan buktikan di pengadilan bahwa negara lalai dan menterinya tidak berpihak pada rakyat,” kata Henri.
Uchok Sky Khadafi menyarankan Presiden Prabowo untuk tidak membiarkan pembiaran ini berlarut-larut. Ia menegaskan bahwa jika Presiden ingin mewujudkan visi maritim yang inklusif dan berkeadilan, maka Sakti Wahyu Trenggono harus dievaluasi secara serius, bahkan jika perlu dicopot dari jabatannya.
“Pak Prabowo harus menunjukkan ketegasan. Ini bukan soal loyalitas politik, tapi soal nyawa kebijakan publik. Menteri seperti Trenggono tidak relevan dalam pemerintahan yang berpihak pada wong cilik,” tegas Uchok.
Menurutnya, keberadaan menteri yang tidak responsif terhadap konflik nelayan justru akan menjadi beban politik bagi Presiden. Publik akan mencatat bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, ada laut yang bisa dipagar, dan nelayan yang dibiarkan kehilangan hidupnya.
“Ini bukan hanya soal sakti atau tidaknya Trenggono. Tapi tentang bagaimana negara hadir atau tidak untuk rakyatnya. Pagar laut itu pagar simbolik dari keangkuhan kekuasaan atas penderitaan rakyat kecil,” ujarnya menutup.
Kasus ini menjadi batu ujian penting bagi arah kebijakan maritim Prabowo. Jika pemerintah gagal menyikapi dengan bijak, bukan tak mungkin konflik sosial yang lebih luas akan terjadi di wilayah pesisir lainnya. Apalagi, pola-pola eksklusi ruang laut untuk kepentingan tertentu mulai menjamur di berbagai daerah.
Nelayan bukan hanya butuh ikan, tapi juga keadilan. Dan keadilan hanya hadir bila negara benar-benar membuka mata dan telinga terhadap jeritan dari tepian negeri.**