IAW Sebut Kejaksaan Agung Lakukan “Lompatan Kuantum” dalam Penanganan Kasus Chromebook

Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Indonesia Audit Watch (IAW) menyebut ada empat jejak dosa Chromebook ditemukan dari audit dalam kasus proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Di mana dalam audit keuangan negara, ada satu prinsip emas yang selalu dijunjung: setiap rupiah APBN harus memiliki asas manfaat dan dasar hukum yang kuat.

Namun, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi justru menunjukkan sebaliknya.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus mengungkap empat dosa utama yang terangkum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2021–2023.

Pertama, harga tiap batch naik-turun tak jelas. Harga pembelian per unit Chromebook bervariasi antar batch, tanpa dasar teknis atau justifikasi ekonomi.

“Padahal, dalam kontrak pengadaan negara, variabel harga harus transparan dan proporsional. Fluktuasi liar ini membuka ruang kecurigaan adanya markup, kolusi, atau bahkan pengaturan tender,” ungkap Iskandar kepada Mediakarya, Selasa (22/7/2025).

Kedua, spesifikasi dikunci, hanya vendor tertentu yang bisa masuk.
Di mana dalam kasus itu, BPK menemukan bahwa spesifikasi teknis Chromebook dipatok sangat spesifik, sedemikian rupa hingga hanya satu vendor besar seperti PT Datascrip yang bisa memenuhi.

“Dalam regulasi pengadaan, hal ini kami menilai melanggar prinsip persaingan sehat dan bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi tentang persekongkolan dalam lelang,” ujarnya.

Ketiga, dari 685 ribu unit mangkrak, Chromebook jadi barang mati. Menurutnya, dari total 2,4 juta unit yang dibeli, lebih dari 685.000 unit (28%) tidak digunakan alias idle. Alasannya: infrastruktur tidak siap, sinyal tak terjangkau, atau SDM tidak dilatih.

“Ini adalah pemborosan masif uang negara dan membuka ruang pemidanaan berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor karena telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara,” beber Iskandar.

Keempat, proyek ini sempat gagal uji coba di 2019, karena dianggap tak cocok dengan kondisi sekolah di daerah. Namun anehnya, tak ada evaluasi ulang sebelum proyek dijalankan secara masif tahun 2020–2022. Ini menabrak prinsip value for money, yang seharusnya menjadi pondasi belanja negara.

Iskandar menilai bahwa empat temuan ini cukup menjadi landasan hukum kuat bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan siapa pun yang bertanggung jawab dalam pusaran pengadaan Chromebook. Mulai dari pejabat perencana, vendor pelaksana, hingga pihak yang merekayasa kebijakan.

Lebih lanjut, jika benar terbukti bahwa spesifikasi dan vendor diarahkan untuk kepentingan tertentu, maka ini bukan lagi sekadar pengadaan bermasalah, tapi konspirasi sistematis untuk merampok uang pendidikan rakyat.

Oleh karena itu, kata Iskandar, LHP BPK harus menjadi pemicu penyidikan, mengungkap pemborosan dan potensi penyalahgunaan kewenangan.

Strategi “Quantum Leap”, Ekspansi Bukti Dan Investigasi

Terkait dengan permasalahan tersebut, IAW mendorong Kejagung bergerak dari bukti audit internal ke penyidikan strategis yang mencakup:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *