- Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor. Pasal ini digunakan untuk menjerat siapa saja yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam kasus Chromebook, indikasi kuat menunjuk pada tindakan kebijakan yang “mengunci” vendor tertentu, lalu meloloskan proyek triliunan tanpa evaluasi teknis yang layak. Alhasil, negara merugi dan puluhan ribu sekolah justru tak bisa memanfaatkan barangnya.
- Pasal 22 UU Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Undang-undang ini mengatur bahwa pengadaan negara harus terbuka, adil, dan kompetitif. Tapi temuan BPK menunjukkan bahwa spesifikasi teknis laptop yang dibuat “terlalu spesifik” justru hanya bisa dipenuhi oleh satu-dua vendor besar seperti PT Datascrip. Artinya, ini bukan lelang sehat, melainkan tender berpagar tinggi yang hanya bisa dilompati oleh pemain tertentu.
- UU Larangan Pengaruh Tidak Sah. Inilah dimensi yang membuat kasus ini luar biasa. Ada dugaan bahwa investasi Google ke Gojek (perusahaan yang dulu dipimpin Nadiem Makarim) berbalas “pengaruh kebijakan” di Kemendikbudristek. Bukti komunikasi internal, kontrak, dan arahan dalam grup WhatsApp memperkuat dugaan bahwa keputusan soal Chromebook adalah hasil dari kolusi investasi dan jabatan publik.
- UU Keuangan Negara: Rp1,98 Triliun dihamburkan tanpa kajian. Ketika proyek senilai hampir Rp2 triliun dijalankan tanpa studi kelayakan ulang pasca kegagalan uji coba 2019, maka jelas ini pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam belanja negara. Pemerintah punya kewajiban hukum untuk memastikan setiap rupiah APBN memberikan manfaat nyata. Jika tidak, itu pemborosan, dan pemborosan adalah tindak pidana keuangan negara.
IAW menyarankan agar kombinasi pasal-pasal ini harus menjadi kerangka strategis Kejaksaan Agung dalam mengurai aktor, motif, dan jejaring bisnis-politik di balik Chromebook.
Selain itu, IAW menyarankan agar penyidikan diperluas ke sektor investasi teknologi, struktur vendor, hingga pola belanja digital di kementerian lain.
“Kasus Chromebook adalah cermin retak dari kemewahan teknologi yang tidak disertai etika. Rakyat butuh keadilan, bukan hanya gadget,” pungkasnya.**