Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch(IAW)
Kasus korupsi tata niaga timah yang menjerat PT Timah Tbk dan jejaring smelter swasta bukan sekadar deretan pelanggaran hukum. Ini adalah blueprint kejahatan korporasi terstruktur yang menggerogoti kedaulatan sumber daya alam (SDA). Kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah hanyalah puncak gunung es dari sebuah sistem yang dibiarkan bobrok selama puluhan tahun.
Kasus ini adalah ujian kredibilitas terbesar bagi Kejaksaan Agung (Kejagung) pasca-reformasi, apakah institusi ini sanggup memutus sirkuit kejahatan yang melibatkan korporasi, birokrasi, dan aktor politik, atau akan berhenti di level “tukang sapu” yang membersihkan sampah, namun membiarkan sumbernya terus beroperasi. Semoga mereka ulangi keberhasilannya seperti pada kasus Timah!
Kronologi faktual dari tambang ilegal ke kejahatan korporasi
Akar masalah terletak pada simbiosis parasitik antara tambang ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah, kolektor, dan smelter swasta. Mekanisme ini bekerja dalam siklus tertutup:
- Eksploitasi ilegal: aktivitas tambang di luar RKAB resmi di wilayah konsesi PT Timah.
- Pengaliran melalui pihak ketiga: hasil tambang ilegal dialirkan bukan ke sistem BUMN, tetapi ke jaringan smelter swasta via kolektor.
- Legitimasi palsu: smelter tersebut mengolah dan menjualnya seolah-olah berasal dari pasokan legal, seringkali dengan manipulasi harga dan dokumen.
Kejagung, melalui penyidikan mendalam, membongkar siklus ini dengan menetapkan tersangka individu dari level operasional hingga beneficial owner. Proses pidana di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2024-2025 menghasilkan vonis berat, menandai keberhasilan di jalur pertanggungjawaban personal.
Titik krusialnya penetapan tersangka korporasi awal 2025, dimana Kejaksaan melakukan lompatan strategis dengan menetapkan lima korporasi sebagai tersangka (PT Refined Bangka Tin, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Inter Nusa, CV Venus Inti Perkasa). Langkah ini mengaktifkan instrumen pertanggungjawaban pidana korporasi (UU Tipikor dan PERMA), yang menggeser fokus dari “pelaku” ke “sistem kejahatan” itu sendiri.
Puncaknya adalah penyitaan dan perampasan enam smelter berikut asetnya, yang diserahkan ke PT Timah sebagai pemulihan kerugian. Di fase inilah dimensi kasus meledak, yakni ditemukannya mineral tanah jarang (Monasit) dalam jumlah signifikan di lokasi smelter. Temuan ini mengubah peta perkara dari korupsi biasa menjadi dugaan kejahatan terhadap aset strategis nasional!
Temuan 20 tahun BPK bukti pembiaran sistemik yang konsisten
Kasus ini bukan kejutan. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK selama dua dekade secara konsisten telah membunyikan alarm yang sama, namun kerap diabaikan. Pola temuan BPK yang berulang membuktikan bahwa skandal timah adalah buah dari sistem yang sakit, karena:




