Krisis Radioaktif Cikande Bukti Negara Kecolongan di Gerbang Industrinya Sendiri

Iskandar Sitorus. (Ist)
  1. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan prinsip strict liability, bahwa pelaku pencemaran wajib bertanggung jawab bahkan tanpa pembuktian kesalahan.
  2. UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mewajibkan izin penyimpanan dan penggunaan bahan radioaktif.
  3. PP No. 61 tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif mengatur tanggung jawab penuh operator dan pemerintah.
  4.  UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara mewajibkan pejabat negara menanggung kerugian akibat kelalaian jabatan.

Maka KLHK, BAPETEN, Bea Cukai, serta pengelola kawasan industri Cikande tak bisa lepas dari tanggung jawab hukum dan keuangan negara.

Potensi kerugian negara dan ekonomi

Kerugian negara bersifat multidimensi, terhadap fiskal dan keuangan negara, maka berdasar simulasi BPK dalam LHP 2022 tentang Pengelolaan Limbah B3 Nasional, biaya remediasi dan dekontaminasi lahan terpapar radioaktif berkisar Rp300–600 miliar per lokasi. *Sehingga dengan 22 fasilitas terpapar, potensi kerugian negara dapat mencapai Rp6–13 triliun.*

Terhadap ekonomi dan reputasi ekspor, setelah kasus Cs-137 mencuat, FDA Amerika Serikat memperketat pengawasan terhadap ekspor udang dan rempah Indonesia, itu dua sektor bernilai USD 2,1 miliar per tahun. Dalam LHP BPK 2017 dan 2021, tercatat lemahnya sistem pengawasan mutu ekspor hasil laut dan pangan olahan, yang kini berujung pada hilangnya kepercayaan internasional.

Bagi sosial dan ekologis radiasi Cs-137 berumur paruh 30 tahun dan dapat mencemari tanah serta air tanah. Dalam LHP Kinerja BPK tahun 2018 atas BAPETEN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ditemukan lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran sumber radiasi dan limbah bahan berbahaya beracun (B3), termasuk dalam mekanisme inspeksi terhadap industri dan impor bahan logam bekas.

Lemahnya pengawasan yang tercatat dalam audit BPK tersebut kini menemukan manifestasi nyatanya dalam krisis kontaminasi Cs-137 di Cikande, yang menjadi bukti konkret dari kelalaian institusional lintas tahun.

LHP BPK Kinerja 2018 menyebut bahwa lemahnya transparansi pemerintah dalam menangani pencemaran berisiko tinggi “menyebabkan penurunan rasa aman publik dan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.” Artinya, kerugian psikologis dan sosial tak kalah berat dari kerugian fisik.

Lebih jauh, BPK juga mencatat lemahnya koordinasi antara BAPETEN, KLHK, dan Kementerian Perdagangan dalam pengawasan barang impor yang berpotensi mengandung zat radioaktif atau limbah industri berbahaya. Pengawasan di pelabuhan dan kawasan industri masih bersifat administratif, bukan berbasis risiko. Hal inilah yang membuka celah masuknya scrap logam terkontaminasi ke dalam negeri tanpa terdeteksi dini.

Kelemahan pengawasan yang sudah diperingatkan oleh BPK sejak 2018 kini terbukti nyata akibat bahan baku impor yang lolos dari pengawasan. Ini bukan sekadar insiden teknis, tetapi buah langsung dari kelalaian struktural yang sudah lama diidentifikasi namun diabaikan.

Kerugian keuangan negara

Dari sisi keuangan negara, kejadian ini memenuhi unsur kerugian negara akibat kelalaian pejabat publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Dalam konteks ini, pejabat pengawas lintas kementerian, mulai dari BAPETEN, KLHK, hingga Bea Cukai, dapat dimintai pertanggungjawaban administratif dan bahkan pidana apabila terbukti lalai hingga menimbulkan dampak kerugian nyata.

Secara sosial dan psikologis, krisis Cs-137 ini menimbulkan ketakutan publik yang mendalam. Bagi pekerja industri dan masyarakat sekitar, stigma “terpapar radiasi” menciptakan trauma dan rasa tidak aman terhadap lingkungan kerja. Masyarakat sekitar kawasan industri kini hidup dalam bayang-bayang risiko yang tidak kasat mata. Ketidakpastian dan ketakutan ini adalah bentuk nyata dari kerugian non-fiskal akibat kelalaian pengawasan negara.

Krisis ini menjadi cermin kegagalan sistemik lintas lembaga, bukan hanya dalam aspek hukum dan tata kelola, tetapi juga dalam tanggung jawab moral negara terhadap keselamatan rakyatnya. Karena itu, penerapan pasal-pasal hukum pidana lingkungan, ketenaganukliran, hingga keuangan negara harus dijalankan secara simultan, agar tidak ada celah bagi siapapun untuk berkelit dari tanggung jawab.

Siapa yang bisa dijerat hukum?

Krisis ini membuka ruang penegakan hukum yang sangat kuat. Penegak hukum dapat menjerat korporasi, pejabat publik, dan pihak pengimpor menggunakan kombinasi pasal berikut:

Pertama, pada pasal 98–99 UU No. 32 tahun 2009 (PPLH) bisa menjerat perusahaan pengimpor scrap dan pengelola kawasan industri yang lalai memastikan bahan bebas radiasi. Ancaman hukuman, penjara hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar.

Kedua, dengan pasal 42 dan 45 UU No. 10 tahun 1997 (Ketenaganukliran) bisa menjerat pihak yang menyimpan atau menggunakan bahan radioaktif tanpa izin BAPETEN. Ancaman penjara 5 tahun dan denda Rp500 juta.

Ketiga, UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004 dapat menjerat pejabat publik yang lalai hingga menimbulkan kerugian negara. Jika ditemukan unsur kesengajaan atau pembiaran, dapat dinaikkan ke ranah Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).

Keempat, pasal 359–360 KUHP bisa menjerat pejabat atau pelaku korporasi yang karena kelalaiannya menyebabkan bahaya bagi nyawa orang lain.

Dengan kombinasi pasal lintas undang-undang ini, tidak ada ruang bagi siapa pun untuk berkelit. Kepolisian, Kejaksaan, bahkan KPK, memiliki dasar hukum kokoh untuk membuka penyelidikan terpadu.

Rantai kelalaian yang harus disidik

Indonesian Audit Watch mendesak penyidik kepolisian untuk menelusuri rantai kelalaian sebagai berikut:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *