“Nah, kami uji norma itu untuk meminta Mahkamah memberi tafsir bahwa yang dimaksud ‘penduduk pada setiap kabupaten/kota’ adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kabupaten dan kota bersangkutan, sekalipun Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) mereka diterbitkan oleh pemerintah kabupaten dan kota yang lain,” katanya.
Hal itu sesuai dengan definisi penduduk menurut Pasal 26 ayat (2) UUD 1945.
“Norma itu terpaksa kami uji ke MK karena KPU dan Bawaslu tidak bersedia mengakomodasi usulan Partai Buruh, agar status anggota partai semestinya tidak boleh dibatasi oleh syarat administratif KTP-el semata. Ini yang sangat kami sayangkan. Kebebasan masyarakat untuk menjadi anggota partai pada suatu kepengurusan partai dibatasi oleh penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Sedangkan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) adalah norma yang mengatur mengenai kewajiban bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah setiap membuat peraturan.
“Kami uji norma itu karena konsultasi tersebut dimaknai mengikat. Sehingga, penyelenggara pemilu diharuskan tunduk pada kehendak DPR dan Pemerintah. Padahal, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah organ independen sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945,” ucapnya.
Ahli Hukum Tata Negara itu menambahkan dalam perspektif hukum tata negara modern, penyelenggara pemilu seharusnya ditempatkan sebagai cabang kekuasaan keempat disamping eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif.