Polisi Religius: Penyelamatan Diri Institusi dan Negeri

Logo Polri

Oleh Agus Wahid

Bukanlah hal baru. Itulah kerusakan entitas polisi. Di antara mereka terjadi baku tembak yang mengakibatkan nyawa melayang. Juga, menjadi bagian penting dari pengelolaan judi online, mafia penjualan bahan bakar di wilayah perairan, narkoba. Juga, menjadi pembacking industri-industri hiburan, sampai ke penambangan. Belum lagi, menjadi penjaga kawasan yang sesungguhnya merupakan “negara dalam negara” yang paradok dengan kedaulatan NKRI. Sungguh rusak kepribadian insan polisi. Dan, itu pun akhirnya mencemari nama baik institusi Polri.

Kerusakannya tergolong sangat serius. Sudah sampai pada titik nadlir. Karenanya, belum lama ini Presiden Prabowo Subianto memperingatkan, jika tak ada perubahan yang fundamental dalam Polri, institusinya akan dikembalikan posisinya: di bawah satuan TNI. Tidak lagi di bawah Presiden. At least, di bawah Kementerian Dalam Negeri, seperti yang berlaku di sejumlah negara maju. Sebuah peringatan yang tentu bagian dari responsi melihat kerusakan insan polisi dan institusinya yang tercemar.

Sebuah renungan, tiadakah polisi yang berkepribadian baik dan berintegritas? Sungguh berlenihan jika menegasikannya. Tapi, fakta bicara, tak sedikit terdapat polisi baik dan berdedikasi seperti slogannya yang tertuang dalam Bhayangkaranya. Namun, fakta juga bicara, mereka seperti tak berkutik menghadapi sistem kerja internal yang sudah rusak parah.

Jika polisi-polisi baik tetap menjalankan fungsinya sesuai “role of conduct”, ia tergolong melawan arus besar di lingkungan internalnya. Polisi bergaris lurus cenderung sulit naik pangkat. Sementara, polisi-polisi bermasalah terus dibiarkan mewarnai citra negatif satuan polisi dan instansinya. Maka, yang terjadi bukan mengayomi dan melindung masyarakat sebagaimana semboyannya, tapi justru sebaliknya: masyarakat menjadi komoditas kepentingan polisi. Kondisinya sudah sangat sistemik dan strukturalistik.

Sebuah renungan, tak adakah celah untuk memperbaikinya? Ada. Tapi, sangat tergantung pimpinan puncak Polri. Dalam hal ini Wakapolri yang baru, Komjen Pol Ahmad Difiri tampaknya bisa menjadi penumbuh harapan baru untuk restorasi total di tubuh Polri. Landasannya, peraih Adhi Makayasa di Akademi Kepolisian (Akpol) 1989 ini tergolong memiliki kepribadian yang memenuhi syarat untuk misi restorasi total di tubuh Polri ini. Salah satu keuggulan kepribadiannya adalah keberaniannya melawan arus besar internal Polri yang jelas-jelas menghadapi risko besar. Sikap tegas menghukum Ferdy Sambo, bukan hanya melawan hegemoni kekuatan geng Sambo yang eksis di tubuh Polri, tapi juga efeknya yang akhirnya menguak judi online yang beromzet triliunan rupiah itu.

Yang menarik untuk ditelaah lebih jauh, keberaniannya berlandaskan sendi agama yang diyakininya. Keberanian Dofiri yang dikenal religius ini tampak didasarkan ajaran keyakinannya tentang “saja`ah” (berani karena benar). Dan terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Dalam bahasa Islam, Dofiri tampak mengamalkan keyakinannya dalam “memerangi kemungkaran”. Sesuai dengan otoritas yang dimimiki dan doktrin Bhayangkara, maka memerangi kejahatan merupakan tugas negara. Dan, itu diperlihatkan dengan penuh dedikasi saat mengadili Sambo.

Dari catatan sikap tegas dan keberaniannya, maka polisi religius bisa menjadi paradigma baru dalam pembangunan jatidiri kepolisian. Posisinya bisa menjadi kerangka solusi atas krisis multidimensi yang menerpa insan polisi dan tubuh Polri. Klisekah persoalan religiusitas dijadikan kerangka solusi? Publik akan cenderung menilai klise. Hal itu sejalan dengan sejumlah fakta objektif, tak sedikit di antara insan perwira tinggi kepolisian tampak religius (rajin beribadah), tapi kelakuannya paradok dengan prinsip-prinsip keagamaan yang diyakini.

Itulah persoalan latennya. Beragama, tapi sebatas ritual. Memisahkan sikap keberagamaan dengan urusan pelayanan publik dan tanggung jawabnya sebagai aparat keamanan. Ajaran-ajaran horisonatalismenya yang tertuang dalam agama tidak dipraktikkan. Terjadilah, agama hanya menjadi kebutuhan privat yang bersifat transendental. Sementara, agama seperti Islam merupakan way of life, mengatur berbagai aspek kehidupan duniawi, tidak hanya urusan ukhrawi. Setidaknya, untuk prinsip-prinsip dasarnya. Semuanya diatur secara jelas. Persoalannya, bagaimana insan beragama mengamalkan prinsip-prinsip keduniaan secara ideal.

Mengacu pada persoalan besar yang menggelayuti sejumlah insan polisi dan cenderung menjadi sistem kerja institusi Polri, kita bisa mempertanyakan dengan jelas, adakah agama membolehkan saling membunuh atau membantai orang lain (rakyat)? Adakah agama membenarkan praktik perjudian dalam bentuk apapun? Apakah agama memberikan toleransi terhadap pencurian apapun termasuk bahan bakar, apalagi secara mafia dan merugikan negara? Dan apakah agama membolehkan mencari rezeki dari jenis-jenis bisnis yang diharamkan seperti bisnis esek-esek, perusakan akibat penambangan, dan lainnya?

Semua itu dilarang agama. Dalam bahasa agama, kita kenal dengan istilah nahi munkar. Dalam bahasa hukum konvensionalnya, membasmi kejahatan. Bagi Polri, memberantas atau membasmi kejahatan bagian dari tupoksi penting.

Berangkat dari landasan ideal keberagamaan, maka restorasi total aparat kepolisian tidaklah cukup dengan membenahi mentalitasnya. Tapi, perbaikan mental harus diperkuat dengan penumbuhan kesadaran implementafif beragama, untuk agama apapun. Kesadaran implementatif beragama akan menuntunnya sikap dan tindak, bahkan cara pandang dan hati untuk menjauhi hal-hal yang dilarang agama.

Jika itu dilakukan dan bahkan menjadi doktrin Bhayangkaranya, Insya Allah, insan polisi akan selamat dari bisikan iblis yang menjerumuskan, yang pasti merugikan dirinya, juga orang lain, termasuk masyarakat dan negara. Karena itu, kerangka penumbuhan mental agamis secara praksis ini haruslah menjadi agenda institusi Polri. Namun, agenda ideal ini tak akan pernah terwujud jika posisi puncak tidak diduduki oleh pemimpin yang religius.

Tampaknya, sosok Komjen seperti Ahmad Dofiri layak diplot lebih jauh: menjadi Kaplori. Bukan persoalan tunggu urutan atau jatah, tapi negeri ini perlu sosok Dofiri. Keberadaannya sebagai Kapolri akan mempunyai kekuatan otoritatif untuk merembeskan agenda fundamental restorasi di tubuh Polri. Di samping keberanian (saja`ah) yang dimilikinya, tapi praktik keberagmaan akan menjadi teladan yang pasti bisa diharapkan efektivitasnya. Tak bisa dipugkiri, negeri kita diperhadapkan krisis keteladanan sang pemimpin.

The last nit least, kepemimpinan seorang Komjem Dofiri berdimensi sangat fundamental. Yaitu, urgensi membenahi cara pandang, perilaku dan sistem kerja institusi Polri. Urgensi ini akan menjadi titik balik citra baru kepolisian, sebagai persoalan pribadi ataupun institusi, dan akhirnya memenuhi dambaan rakyat dan negara. Presiden Prabowo yang committed untuk menghadirkan sistem tata-kelola pemerintahan yang bersih, akan match dengan sosok Komjen Ahmad Dofiri. Untuk menjalankan tugas yang sangat asasi: bersih-bersih di tubuh Polri, meski dengan pendekatan yang sangat soft: keberagamaan yang implementatif.

Penulis: Analis Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *