JAKARTA, Mediakarya – Aksi teror bom yang baru-baru ini terjadi di Polsek Astana Anyar Bandung, yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam radikal tidak boleh dianggap enteng. Untuk itu dalam meredam dan menyadarkan kelompok radikal tidak cukup melalui pendekatan seminar maupun diskusi terbuka.
“Sebab yang ada di benak mereka (teroris) itu bahwa apa yang dilakukan itu merupakan panggilan jihad. Padahal itu merupakan kekeliruan yang fatal dan pemahaman yang sesat dalam memaknai perjuangan dalam membela agama Allah,” ujar Direktur Eksekutif Parasanda Bumi Partiwi yang tergabung dalam Prabu Foundation (FB) Asep Muhargono dalam keterangan persnya yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Jika pola penyadaran terhadap kelompok radikal itu hanya dengan seminar maupun menghadirkan pembicara yang tidak kompeten di bidangnya, maka hanya akan menimbulkan masalah baru.
“Yang perlu diperbaiki dari kelompok radikal itu fahamnya bukan menghadirkan orangnya dalam bentuk fisik melalui seminar. Sebab, jika berbicara pemahaman soal Aqidah mereka (kelompok radikal-red) pastinya lebih pandai dalam mengurai ayat-ayat Qur’an sesuai dengan versi yang difahaminya,” ucap Asep.
Menurut dia, terpenting untuk mengubah pola pikir mereka dari faham yang selama ini mereka anut agar kembali disadarkan bahwa Islam itu merupakan agama Rahmatan Lil Alamin.
“Sebab doktrin yang dianut oleh kelompok tersebut selama ini adalah memaknai bahwa konsep ibadah itu hanya berjihad. Tapi bagaimana berbicara geopolitik dan geoekonomi dipastikan tidak menguasai,” katanya.
Praktis semenjak diserukannya Komando Jihad, beberapa tahun silam, kata Asep, strategi yang dibangun oleh kelompok tersebut selalu pupus.
“Mereka hanya melakukan gerakan sporadis. Bahkan tidak sedikit dari kalangan mereka melakukan tindakan kriminal guna memenuhi kebutuhan hidup,” jelas Asep .
Untuk itu, diperlukan pendekatan secara personal dan persuasif terhadap kelompok-kelompk yang diduga berafiliasi dengan Islam radikal tersebut.
Asep mengungkapkan, jika berbicara sejarah, lahirnya gerakan radikal itu karena ketidakpuasan sekelompok umat Islam terhadap pemerintahan yang sah.
Pola pendekatan yang paling efektif yakni bagaimana merubah mindset radikal dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan sebagaimana yang pernah dilakukan di era orde baru terhadap kelompok-kelompok ekstrim.
Selanjutnya mereka diberikan pendampingan yang melekat kemudian diperlakukan dengan adil sebagaimana masyarakat yang lain.
“Pemerintah bisa saja merekrut mantan aktivis NII yang kembali ke pangkuan NKRI kemudian tahu betul garis perjuangan yang selama ini diyakini oleh kelompok radikal tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Asep, cikal bakal lahirnya gerakan radikal itu dari kelompok NII. Jika dahulu pola perlawanannya memanggul senjata dan berkonvrontasi dengan tentara dan rakyat tapi saat ini gerakan mereka beralih dengan meneror.
Untuk mengajak kembali dari faham sesat kepada faham yang ma’ruf kepada kelompok radikal itu, tentunya hanya orang-orang yang pernah memiliki garis perjuangan yang sama yakni mantan aktivis NII yang kembali ke pangkuan NKRI.
“Karena gaya mereka (kelompok radikal) sangat piawai dalam mencuci otak khususnya terhadap anak-anak muda dalam usia labil,” kata Asep.
Dikatakan Asep, ada dua lembaga negara yang selama ini fokus terhadap penanganan teroris, yakni Badan Nasional Penanggulangan
Teroris (BNPT) dan Detasemen Khusus 88. Dua lembaga ini berfungsi dalam rangka pencegahan dan penindakan terorisme di Indonesia.
Jadi, kata Asep, percuma saja Densus 88 melakukan tindakan seperti menangkap pelaku teroris jika pencegahan di antaranya program deradikalisasi yang dilakukan BNPT tidak tepat sasaran.
Dia menyontohkan, di saat Densus menangkap teroris di Kota A, namun di waktu yang berbeda ada aksi teror di Kota B. Akhirnya yang muncul asumsi publik bahwa Densus 88 hanya penggiringan opini.
“Padahal faktanya yang sesungguhnya pasukan Densus 88 itu untuk menangkap aksi teror harus berjibaku antara hidup dan mati. Oleh karenanya, secara organisasi kami dari Prabu Faoundation sangat mengapresiasi kinerja Densus 88,” tandasnya.
Kendati demikian, meski Densus 88 kerap menangkap teroris, aksi teror itu tetap menghantui masyarakat jika program deradikalisasi tidak berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. (Pri)