Oleh: Adi Yunsyah (Monel)
Sejak reformasi 1998, Polri menempati posisi strategis sebagai institusi penegak hukum dengan mandat menjaga keamanan dan menegakkan supremasi hukum. Namun, warisan praktik lama seperti penyalahgunaan kewenangan, rekayasa kasus, hingga selective enforcement belum sepenuhnya hilang.
Berbagai peristiwa besar mulai dari tragedi Kanjuruhan, kasus Sambo, hingga dugaan extra judicial killing telah mengguncang kepercayaan publik. Survei LSI (2023) mencatat tren menurun dalam tingkat kepercayaan masyarakat, meski Polri masih berada di tiga besar lembaga negara yang relatif dipercaya. Kondisi ini memperlihatkan paradoks: masih ada basis kepercayaan publik yang besar, namun pada saat yang sama terdapat krisis legitimasi yang serius.
Dalam konteks krisis legitimasi tersebut, beberapa kasus di tingkat daerah memperlihatkan indikasi serius adanya penyalahgunaan kewenangan. Salah satunya perkara narkotika yang menjerat seorang anggota Polri berprestasi di Kalimantan Tengah. Kasus ini memperlihatkan sejumlah kejanggalan prosedural:
Pertama, Rantai penguasaan barang bukti (chain of custody) terputus, sehingga validitas bukti dipertanyakan.
Kedua, selective prosecution, di mana aktor utama jaringan tidak diproses, sementara pihak lain dijadikan korban.
Ketiga, prosedur penggeledahan cacat hukum, karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP.
Keempat, status justice collaborator diabaikan, meski secara hukum telah memenuhi syarat.
Rangkaian kejanggalan tersebut tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga memberi sinyal tentang lemahnya mekanisme kontrol internal. Dengan kata lain, kasus ini bukan soal personal semata, melainkan refleksi dari persoalan kelembagaan yang lebih dalam.
Agenda Reformasi yang Mendesak
Kasus di atas seharusnya diposisikan sebagai alarm bagi Polri, bahwa reformasi kelembagaan tidak bisa lagi ditunda. Ada beberapa agenda strategis yang perlu menjadi prioritas:
Penguatan Mekanisme Pengawasan
Polri perlu memperkuat fungsi Propam dan Irwasum, tidak hanya sebagai lembaga administratif, tetapi juga dengan kewenangan investigatif independen. Selain itu, Kompolnas perlu diberi peran lebih kuat sebagai pengawas eksternal yang efektif. Mekanisme civilian oversight melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen dapat menjadi pelengkap penting untuk menjaga transparansi.
Reformasi Proses Penyidikan
Standarisasi penyidikan berbasis norma internasional harus diterapkan. ISO/IEC 27037 dalam forensik digital, misalnya, dapat menjamin integritas barang bukti elektronik. Semua penyitaan dan penggeledahan harus memenuhi ketentuan KUHAP dan diawasi ketat untuk menghindari manipulasi.
Perlindungan terhadap Justice Collaborator
Status justice collaborator tidak boleh sekadar formalitas. Perlindungan nyata harus diberikan, baik kepada aparat maupun warga yang berperan dalam mengungkap jaringan kejahatan. Hal ini penting agar masyarakat tidak takut bersuara, dan aparat tidak dikorbankan dalam praktik mafia hukum.
Pemisahan Kasus Individu dan Institusi
Kesalahan individu tidak boleh dibenarkan atas nama menjaga marwah institusi. Penanganan kasus dugaan rekayasa harus ditarik ke Mabes Polri atau tim independen untuk mencegah konflik kepentingan di tingkat daerah. Dengan demikian, integritas institusi dapat tetap terjaga.
Konsistensi Reward and Punishment
Polri perlu menegakkan prinsip reward and punishment secara konsisten. Anggota yang berintegritas harus diberi kepercayaan untuk memimpin perubahan, sementara pelanggar aturan perlu dikenai sanksi tegas. Konsistensi ini akan menegaskan bahwa Polri adalah organisasi yang dipimpin oleh nilai integritas, bukan loyalitas semu.
Menjaga Supremasi Hukum dan Kepercayaan Publik
Supremasi hukum hanya akan tegak bila ditegakkan secara jujur, transparan, dan berkeadilan. Jika praktik rekayasa dibiarkan, maka hukum hanya akan menjadi instrumen kekuasaan, dan kepercayaan publik terhadap Polri semakin terkikis.
Kasus-kasus di daerah, termasuk perkara yang menimpa Brigpol Fathurrahman, hanyalah satu ilustrasi dari problem yang lebih besar. Tantangan sesungguhnya adalah apakah Polri mampu menempatkan hukum kembali sebagai panglima, ataukah membiarkan hukum tunduk pada rekayasa segelintir oknum.
Dengan reformasi yang konsisten, Polri dapat mengembalikan dirinya sebagai institusi terpercaya, mitra rakyat, serta instrumen negara dalam melindungi warga, menjaga demokrasi, dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, pentingnya responsivitas dan pendekatan humanis dalam kepolisian untuk memperbaiki citra positif di mata masyarakat. Berdasarkan penilaian publik, bahwa institusi Polri saat ini sudah di tahap yang sangat memprihatinkan.
Keburukan dan perilaku oknum anggota Polri selalu menjadi konsumsi publik dan terpantau hampir di sejumlah platform media. Dari sederet kasus yang membawa anggota Polri sebagai pelakunya membuat tingkat kepercayaan publik menurun drastis.
Jika hari ini ada survei yang menyatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri meningkat maka dipastikan hanya rekayasa.
Oleh karena itu, Korps Bhayangkara itu segera berbenah. Selain itu membersihkan anggota-anggotanya yang selama ini membuat citra polisi menjadi terpuruk.
Pasalnya, sejumlah kasus yang melibatkan anggota polisi seringkali terjadi. Seperti dari polisi tembak polisi, polisi tembak anak sekolah, polisi bunuh ibu kandungnya, hingga kasus polisi peras warga negara asing di konser DWP.
Baru-baru ini seorang anggota polisi di level Polres peras pengusaha hingga puluhan miliar. Sepertinya kasus pemerasan di institusi Polri sudah mentradisi. Jadi wajar ada istilah “jika hilang kambing dan melapor polisi maka bisa jual sapi”. Artinya citra Polri di mata masyarakat pada posisi terendah.
Penulis: Tokoh Pemuda Bekasi Raya dan Mantan Aktivis Reformasi