Revolusi Pemikiran Dengan UU Perekonomian Nasional

Diskusi publik bertajuk "Ekonomi Inklusif, Menolak Ekonomi Ekstraktif: Menuju Revolusi Pancasila dalam Perekonomian Nasional" yang diselenggarakan Nusantara Centre di Jakarta Pusat, Ahad (20/7/'25).

JAKARTA, Mediakarya – Meski sudah 79 tahun Indonesia merdeka secara politik, namun ketimpangan ekonomi sangat menganga. Di mana terjadi perbedaan yang mencolok dalam distribusi pendapatan, kekayaan, dan kesempatan di antara berbagai kelompok masyarakat.

Hal itu dapat dilihat dari perbedaan penghasilan yang tinggi antara si kaya dan si miskin, atau perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah.

Absennya Undang-Undang Perekonomian Nasional (UUPN) bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan kudeta senyap terhadap konstitusi.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik bertajuk “Ekonomi Inklusif, Menolak Ekonomi Ekstraktif: Menuju Revolusi Pancasila dalam Perekonomian Nasional” yang diselenggarakan Nusantara Centre di Jakarta Pusat, Ahad (20/7/’25).

Dalam diskusi yang menghadirkan dua narasumber utama, Dr. Yudhi Haryono (Ekonom Pancasila) dan Dr. Agus Rizal (Universitas MH Thamrin) itu terungkap bahwa negara secara sistemik telah membiarkan logika pasar bebas dan kekuasaan modal menyingkirkan ideologi Pancasila dari panggung kebijakan ekonomi.

Pengamat ekonomi dari Universitas MH Thamrin, Agus Rizal menyampaikan kritik pedas atas ketimpangan struktural dan sabotase legislasi yang terjadi selama puluhan tahun.

“Ketiadaan UUPN bukan karena lupa, tapi karena terlalu banyak pihak yang menikmati ketimpangan,” tegas Dr. Agus Rizal.

Pasal 33 UUD 1945: Mati di Tangan Pasar

Sementara itu, Ekonom Pancasila, Yudhie Haryono menyampaikan
menyampaikan kritik tajamnya lantaran keberpihakan negara yang makin menjauh dari semangat Pasal 33 UUD 1945.

Alih-alih menjaga kedaulatan atas cabang-cabang produksi penting, negara justru menjadi agen modal asing yang menjual sektor-sektor strategis demi investasi.

“Legislasi ekonomi bukan soal teknis, ini soal ideologi. Apakah kita masih Republik merdeka, atau sudah jadi koloni korporasi global?” kata Yudhi Haryono lantang.

Dalam diskusi tersebut, para narasumber menyimpulkan bahwa tanpa UUPN, Indonesia sedang mengalami “ekonomi tanpa ideologi” sistem yang kehilangan kompas, kehilangan keberpihakan, dan kehilangan rakyat sebagai pusatnya.

Menurut dia, UUPN bukan sekadar produk hukum, tetapi merupakan manifesto ideologis bangsa. Ia harus menjawab pertanyaan dasar: apakah Indonesia ingin berdaulat secara ekonomi atau selamanya menjadi pelayan kapitalisme global.

“Diam adalah bentuk persetujuan. Bergerak adalah bentuk keberpihakan. Jika ekonomi tidak dibela, maka republik ini akan dijual ke meja lelang global,” ujar Yudhi.

Nasionalisasi: Hak Konstitusional, Bukan Dosa Politik

Gagasan nasionalisasi juga ditegaskan sebagai langkah konstitusional yang sah, bukan ekstrem. Dr. Yudhi mengutip hukum internasional dan UU No. 25 Tahun 2007 yang memberi ruang bagi negara untuk mengambil alih sektor asing yang mengancam kepentingan nasional dengan syarat adil dan berkeadilan.

“Nasionalisasi bukan tabu, tapi alat berdaulat. Negara tak boleh ragu membela rakyat,” tegasnya.

Saatnya Revolusi Ekonomi Konstitusi

Untuk itu, dirinya berharap agar UU Perekonomian Nasional menjadi prioritas etik dan politik bangsa. “Ini bukan soal teknis perundang-undangan, melainkan soal kedaulatan dan nasib sejarah,” ujarnya.

‘Jika rakyat diam, sejarah akan ditulis oleh pasar. Dan jika bukan kita yang menulis ulang arah ekonomi bangsa, lalu siapa?,” imbuhnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *