JAKARTA, Mediakarya – Menjelang pemungutan suara pada Pemilihan Kepala Daerah, pada Sabtu 23 November 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan Fatwa terkait Pemilihan Kepala Daerah.
Pada pokoknya Fatwa MUI Jawa Tengah mewajibkan Umat Islam untuk memilih calon pemimpin yang seaqidah, amanah, jujur, terpercaya dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam.
Fatwa tersebut juga menyatakan bahwa memilih pemimpin yang tidak seaqidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seaqidah hukumnya haram.
Terkait Fatwa MUI Jawa Tengah, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, memberikan beberapa pandangan terkait dengan Fatwa yang dinilai kontroversi tersebut.
Halili Hasan menilai fatwa tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan hukum negara. Pasal 28D ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Demikian pula UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak.
“Dengan demikian, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap warga negara, apapun identitas yang bersangkutan. Mewajibkan pemilih dari kalangan Umat Islam untuk memilih calon yang seaqidah merupakan tindakan pembedaan atau diskriminasi yang hanya mengistimewakan calon dari kalangan umat Islam,” ujar Halili Hasan, dalam keterangan tertulisnya kepada media, Ahad (24/11/2924).
Selanjutnya, kata Halili, fatwa tersebut dan fatwa serupa ini juga bersifat segregatif dan melemahkan kebhinekaan Indonesia.
SETARA Institute memandang bahwa Pilkada dan hajatan elektoral merupakan wahana kebangsaan, di samping momentum untuk memilih pejabat publik.
Melalui Pilkada, juga Pemilu pada umumnya, rakyat dan calon pejabat publik berinteraksi untuk saling mendengar dan saling mengetahui satu sama lain, tanpa terikat pada identitas primordial masing-masing, termasuk agama.
Dengan demikian, hajatan elektoral merupakan event kolektif untuk menguatkan kebangsaan Indonesia dalam tata kebhinekaan berdasarkan Pancasila.
“Jadi, tindakan mewajibkan memilih berdasarkan agama dan mengharamkan memilih calon yang tidak seagama merupakan upaya segregasi yang melemahkan kebhinekaan Indonesia. Fatwa semacam itu berpotensi memecah belah masyarakat Indonesia yang majemuk,” tegasnya.
Menurut dia, pemaksaan preferensi agama dalam memilih pemimpin akan menciptakan segregasi sosial-politik dan memantik polarisasi di tengah-tengah masyarakat.
SETARA Institute juga memandang bahwa fatwa adalah pandangan keagamaan biasa, tidak mengikat, dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun.
Oleh karena itu, publik dan pemilih, termasuk pemilih dari kalangan umat Islam dapat mengabaikan pandangan keagamaan yang tidak memiliki kekuatan hukum apapun karena tidak sesuai dengan kebhinekaan Indonesia.
Untuk itu, kata Halili, SETARA Institute mendesak seluruh pihak, termasuk ormas keagamaan, untuk menjadikan hajatan elektoral seperti Pilkada sebagai sarana untuk mengekspresikan hak konstitusional warga negara dan kedaulatan rakyat secara bebas, di satu sisi, dan wahana kebangsaan untuk memperkuat tata kebhinekaan di sisi yang lain.
“Berkenaan dengan hal itu, secara umum SETARA Institute juga menghimbau organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi keagamaan, memberikan teladan toleransi dan menyuarakan pesan-pesan damai, nondiskriminatif dan nonsegregatif, untuk menguatkan ekosistem toleransi dan mendukung kondusivitas di tengah-tengah masyarakat dalam Pilkada 2024, terutama menjelang Hari Pemungutan Suara pada 27 November 2024 mendatang,” pungkasnya.**