Mengembalikan Ekonomi ke Tangan Warga Negara

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) – Agus Rizal (Ekonom Univ MH Thamrin)

Jenderal Soedirman (1945) suatu kali berkata, “kebebasan (termasuk ekonomi) berarti bebas melakukan semua kebaikan. Bukan bebas lepas melakukan semua kejahatan tanpa boleh diadili. Ekonomi akan bagus jika dilakukan dengan kebaikan bagi semua, oleh semua dan untuk semua.” Di sini subjek ekonomi adalah “semua warga-negara.” Jelas, terang benderang. Bukan perseorangan, kelompok maupun mafia, oligarki, konglomerat apalagi asing-aseng-asong.

Kita tahu, Indonesia punya sejarah panjang menempatkan ekonomi sebagai inti perjuangan kemerdekaan. Bung Karno (1944) menegaskan merdeka tidak cukup hanya bebas dari penjajahan politik, tapi juga dari belenggu ekonomi. Bung Hatta (1946) menambahkan, politik hanyalah pintu gerbang; kemerdekaan sejati baru lahir bila ekonomi warga negara berdiri di atas sokoguru koperasi, gotong royong, dan kemandirian: agar sentosa.

Namun perjalanan pembangunan kerap menyimpang dari cita-cita itu. Pasal 33 UUD 1945 sudah tegas memerintahkan agar bumi, air, dan cabang produksi penting dikuasai negara demi kemakmuran warga negara. Tetapi tafsirnya menyempit, negara dikebiri hanya sebagai regulator. Akibatnya, banyak cabang produksi vital jatuh ke tangan korporasi besar, bahkan asing, sehingga kendali strategis atas kekayaan bangsa perlahan bergeser keluar dari genggaman warga negara.

Padahal, negara tanpa aset strategis (nasional) pasti bukan negara. Sebab, tanpa aset strategis itu, pasti tak punya kepentingan nasional (national interest). Negara tanpa kepentingan nasional pasti tak punya lembaga penjaganya (national security council/NSC). Tanpa lembaga penjaga, maka tak ada legislasinya: tak punya undang-undang ekonomi-politik nasional. Negara akhirnya jadi swasta. Lebih jauh jadi negeri mafia. Warganya paria, sekarat dan bertakdir bisu di negeri sorga.

Di titik inilah Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial mengambil peran. Ia harus dihadirkan. UU ini dirancang bukan hanya karena mandat konstitusi, tetapi juga kebutuhan untuk sejahtera bersama. Maka, ia menutup celah yang membuat negara mundur dari kewajibannya. Ia mengatur ulang aset strategis (kepemilikan, penguasaan, distribusinya), mengamankan pengelolaan sumber daya alam, dan memperkuat koperasi serta BUMN sebagai sokoguru perekonomian.

UU ini juga hadir dan belajar dari kesalahan besar masa lalu, seperti program rekapitalisasi perbankan pasca krisis 1998, ketika negara dipaksa menalangi kerugian swasta dengan uang publik. Beban utang diwariskan ke generasi berikutnya, sementara pemilik modal yang gagal justru diselamatkan. Dengan sistem baru, praktik “privatisasi keuntungan, sosialiasi kerugian” tidak boleh terulang lagi.

Logika itu sejalan dengan teori-teori penting dalam ekonomi politik. Model developmental state menegaskan bahwa negara kuat dan terorganisir mampu memimpin industrialisasi sekaligus mendistribusikan manfaatnya. Konsep embedded autonomy dari Peter B. Evans (1989) menekankan pentingnya negara yang cukup otonom untuk menolak tekanan elite, namun tetap terhubung dengan kebutuhan ekonomi warga.

Sayangnya, masih ada ekonom yang lebih memilih menjadi corong bagi begundal dan pencuri kedaulatan, membungkus kepentingan modal dengan jargon “efisiensi” dan “liberalisasi” seakan itu solusi, padahal justru memperlebar ketergantungan. Banyak teori muncul dari mereka, tetapi intinya adalah “menswastakan negara, mempariakan warganya.”

Padahal, warisan prinsip kekeluargaan dan gotong royong yang terkandung dalam Pancasila sebetulnya sudah menyediakan arah yang jelas. Pasal-pasal sosial-ekonomi di UUD 1945 saling terkait, menuntut negara menghadirkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta pengelolaan SDA untuk kepentingan umum. Mengembalikan nilai kekeluargaan dalam ekonomi berarti mengembalikan perekonomian pada fondasi bangsa sendiri, bukan pada aturan pasar bebas yang serba liar dan tak mengenal batas.

Realitas hari ini memperlihatkan kenapa langkah itu mendesak. Harga pangan mudah bergejolak karena impor, lahan produktif menyusut karena investasi jangka pendek, UMKM terjepit akses modal, dan generasi muda kehilangan harapan pada sektor riil. Kemiskinan, kesenjangan dan pengangguran terus meningkat.

Kondisi ini sesuai dengan teori dependency, yang menggambarkan bagaimana negara pinggiran terus diposisikan sebagai pemasok bahan mentah sekaligus pasar konsumsi, pemasok tenaga murah tak terdidik, tanpa ketrampilan. Kondisi yang tidak tak terelakan. Maka, tanpa koreksi sistemik, Indonesia akan terus menjadi obyek, korban dan akibat, bukan subyek pembangunan.

Karena itu, mengembalikan ekonomi ke tangan warga negara melalui UU Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial bukan sekadar rancangan undang-undang. Ia adalah strategi konstitusional, keberanian politik, sekaligus perlawanan terhadap mereka yang selama ini mencuri kedaulatan.

Dengan aturan main baru, kekuasaan ekonomi dapat digeser dari segelintir pemodal menuju mayoritas warga negara. Jika langkah ini ditempuh dengan konsisten, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi jauh di depan mata, melainkan kenyataan yang bisa hadir lebih cepat. Dan kini, pilihan ada di tangan kita: terus menjadi pasar bagi orang lain, atau berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat penuh atas ekonominya sendiri.

Tan Malaka (1943) berseru, “karena tindakan ekonomilah kelak yang akan menentukan kemakmuran rakyat dan keamanan republik kita. Rencana ekonomi negara yang berdaulatlah, kuncinya.” Mestakung. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *