Yang tak kalah menariknya sebagai hal ketiga – perhelatan Formula-E juga sekaligus mengkonfirmasi komitmen Pemerintahan Jakarta terhadap sikap dan kebijakan yang tegas pro lingkungan (healty climate). Misi mendasar dari Formula-E itu sendiri sudah jelas: pembudayaan mobil listrik sebagai upaya mendasar pengurangan bahan bakar fosil. Dan Jakarta, bukan hanya supported terhadap misi itu, tapi langsung mengejawantahkannya melalui kebijakan pembangunan pro lingkungan yang menampak jelas pada program naturalisasi secara meluas. Karenanya, bermunculan taman-taman baru di tengah perkotaan, di samping area-area penghijauan yang demikian meluas dan bermanfaat bagi kepentingan ekonomi masyarakat pengelola. Pemandangan lingkungan yang asri itu tentu menjadi daya tarik terendiri. Bukan semata-mata keasriannya, tapi kualitas iklim sehat karena produksi oksigen yang berjuta kubik, di samping potensi besar penyerapan debit air manakala hujan turun.
Realitas program pembangunan pro-lingkungan tersebut jeleslah menjadi catatan plus di mata para perseta Formula-E dan rombongan, serta segenap penonton mancanegara. Pemandangan yang dipancarluaskan media internasional, hal ini membuka mata dunia, sebagai pejabat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau para kepala negara dan rakyatnya tentang fantastiknya Jakarta saat ini. Sebagai aktivis pro-lingkungan, tentu pemandangan lingkungan yang sehat itu sungguh mengagumkan. Tidaklah tertutup kemungkinan, di antara mereka – sekalipun bukan komunitas pencinta Formula-E akan menilai, “Sungguh tepat penyelenggaraan Formula-E di Jakarta. Layak diapreasisi”.
Keempat, realitas penyelenggaraan Formula-E menggiring sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa negeri ini. Rasa bangga (pride) – dalam konteks sosial – cukup penting maknanya. Yaitu, bisa menumbukan rasa percayaan diri. Bangsa ini bukanlah Inlander, karenanya tak boleh minder saat berhadapan dengan komunitas internasional manapun dan dalam sektor apapun. Modalitas sosial ini penting dan bisa disett up secara konstruktif untuk kepentingan lain, katakanlah ekonomi (bisnis).
Dan memang sebagai hal kelima – perhelatan itu memang dirancang untuk mendorong gerakan ekonomi mikro, untuk seluruh level: tidak hanya untuk pelaku ekonomi kelas “kakap”. Para pelaku ekonomi kelas “bawah” berhak menikmati dari kue ekonomi sebagai multiplier effect. Dan data bicara, seluruh lapisan pelaku ekonom dapat kebagian kuenya sesuai forsinya, mulai dari awal pembangunan sarana dan prasarananya yang bernilai sekitar Rp 344 milyar ini melibatkan banyak korporasi, sampai pada saat-saat penyelenggaraan.
Di luar aspek bisnis, serangkaian ikhtiar mewujudkan pagelaran yang super sophisticated itu menyerap sumberdaya manusia yang tidak sedikit, sesuai bidang dan keahliannya. Setidaknya, terdapat sekitar 400 pekerja yang membangun lintasan sepanjang 2,4 km, lebar 16 m, sebanyak 18 tikungan, panjang trek lurus 527 m, plus area tribun, dikerjakan selama 99 hari, 3 shift. Kerja ekstra kebut tapi tetap menjaga kualitas. Belum untuk sektor lainnya seperti tribun dan prasarana lainnya. Karenanya, tidaklah berlebihan bahwa perhelatan Formula-E sedari awal memang didesain untuk mendrive sektor ekonomi, berbasis pendapatan (income) karena terlibat dalam proses kerja untuk ketersediaan sarana dan prasarana. Juga, pendapatan berbasis partisipasi bisnis yang lahir dari celah itu, yang bersifat langsung. Sementara, hotel dan pusat-pusat kuliner juga akan kebanjiran permintaan.
Maka, tidaklah mengherankan ketika terjadi pandemi covid-19 justru pihak otoritas (Pemerintah DKI Jakarta) semakin terdorong bagaimana mencari solusi ekonomi konstruktif. Dan perhelatan Formula-E menjadi salah satu jawaban nyata. Itulah sebabnya, program atau agenda perhelatan Formula-E yang telah diputuskan bersama DPRD Provinsi DKI Jakarta jauh sebelum pandemi pantang disurutkan apalagi gagal.