“Harusnya Risma dalam merespon atas kekeliruan salah satu pendamping PKH tidak mesti ditanggapi dengan cara yang tidak terpuji. Meski niat Risma baik, dalam rangka menseriusi perbaikan data yang kini banyak bermasalah di lapangan tapi bila direspon dengan sikap amarah, tentunya bukan mengundang simpati publik, justru sebaliknya, maksyarakat jadi apatis. Karena kesan pencitraannya sangat kental,” kata Fanly dalam ketererangannya, Minggu (03/10/2020).
Pihaknya juga menyayangkan sikap Risma seolah bangga dengan ciri khasnya yang sering mempermalukan pejabat di hadapan khalayak ramai. Terlebih pernayatan itu dilakukan di Gorontalo, sebagai daerah yang terkenal dengan falsafah adat bersendikan sara, sara bersendikan kitabullah.
Mantan Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Periode 2009-2012 dan 2012-2015 ini mengatakan, sedianya kehadiran Risma di Gorontalo dianggap seperti dewanya orang-orang miskin, karena bantuan yang dialurkan Kemensos diharap dapat membatu perekonomian masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Namun sayang dalam menyikapi persoalan yang ada di daerah seperti yang terjadi di Gorontalo kemaren, Risma terkesan kurang mengedepankan etika sebagai pejabat negara sekelas Mentri. Bahkan sikap yang dipertintonkan oleh Mensos tidak mencerminkan jargon Kemensos yang mengedepankan sisi humanis, adaptif, dedikatif, inklusif, dan responsif.
Sebagai bawahan Presiden, gaya Risma bertolak belakang dengan pola kepemimpinan Joko Widodo yang santun dan humanis. Sikap dari Mensos yang terjadi di Gorontalo, seolah meninggalkan kesan “Menyelesaikan masalah dengan meninggalkan masalah baru”.
“Mungkin niat Mensos sangat mulia karena tidak tega mendengar ada rakyat yang seharusnya penerima bansos PKH namun eror dalam sistem. Akan tetapi dengan menyerang seorang rakyat kecil yang telah ikut mendedikasikan bhaktinya untuk membantu Mensos dengan menjadi pendamping PKH harusnya dihargai dengan cara yang lebih manusiawi,” tegas dia.
Lebih lanjut kata Fanly, jikapun terjadi kesalahan karena kelalaiannya dalam bertugas, harusnya ditegur dengan cara yang lebih bijak, bukan justru menyerang secara pribadi hingga terlihat seperti terjadi kontak fisik kecil.
“Ketegasan tidak selalu harus dibarengi dengan sikap yang menjatuhkan martabat orang lain. Untuk membuat efek jera harusnya tidak dengan memunculkan sikap yang terkesan kasar apalagi di depan umum. Mungkin secara pribadi pendamping PKH tersebut bisa menerima dan memaklumi karakteristik Risma, tapi yang bersangkutan juga punya keluarga yang ikut merasakan secara psikologi atas tindakan yang dilakukan oleh Risma,” tandas Fanly.