“Jadi saya melihat kasus ini seperti mainan dan jadi ajang transaksional. Sebab dalam kasus ini banyak sekali kejanggalan-kejanggalan yang diperlihatkan kepada publik,” tegasnya.
Celakanya, meski terduga pelaku itu belum mendapatkan kekuatan hukum tetap, bahkan sudah mendapatkan SP3 dan perkaranya belum juga sampai ke persidangan, sejumlah nama yang ikut terseret dalam kasus tersebut saat ini sudah dipecat dari pegawai Kemekop.
“Seharusnya Kemenkop membentuk Tim Pencari Fakta. Selanjutnya, baik terduga korban dan terduga pelaku dikonfrontir. Sehingga dapat disimpulkan peristiwa yang sebenarnya. Apakah kasus itu perkosaan atau memang didasari suka-sama suka. Tidak kalah penting, apakah si perempuan itu baru kali ini melakukan persetubuhan itu,” katanya.
Iskandar juga menyayangkan pihak-pihak yang ikut mengomentari kasus ini, padahal belum mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Bahkan bertemu korban maupun pelaku saja tidak.
“Ada salah satu pejabat yang sok tau dengan peristiwa ini. Bahkan statement-statmentnya menyudutkan salah satu pihak. Masa pejabat sekelas menteri mengomentari kasus ‘lendir’ begini. Padahal bertemu kedua belah pihak saja belum. Tapi sudah menggiring opini seolah mengetahui. Sehingga penegak hukum merasa tertekan dengan pernyataan pejabat tersebut,” sesal Iskandar.
Dalam kasus ini, kata Iskandar, hukum seperti dibuat dagelan. Padahal SP3 sudah terbit. Tapi lantaran ada tekanan dari pihak lain maka kembali terbit SPDP meski kasus tersebut terjadi pada 2019 silam.