Alasannya sangat klise, tidak sesuai dengan selera pasar. Dan, tidak ada niat untuk menempatkan musik gamelan dideretan musik terhormat dan sekaligus menjadikannya jenis musik idaman.
“Pada hal media ini dalam daya jangkaunya yang sangat luas dan kemampuannya dalam membentuk opini,” paparnya.
Menurut seorang penikmat gamelan bernama Elsya Tri Ahaddini seorang penikmat musik dari Sumedang, gamelan memang bukan pelembut cucian. Tapi, dari sinilah bisa mengamati, bagaimana pemirsa televisi terutama remaja dan anak-anak bisa jatuh cinta pada musik gamelan, kalau melihat dan mendengar saja tidak pernah?.
Ia pun mengatakan, ketika generasi muda cuek terhadap gamelan, bahkan tidak kenal, ironisnya gamelan Sunda dan mendapat terhormat di negeri fashion (Perancis) sebuah negara adidaya teknologi dan budaya yang secara historis maupun kultur tak ada hubungannya dengan Indonesia.
“Negeri ini memposisikan gamelan pada tempat bergengsi. Prancis pernah mendirikan Tahun Gamelan 2002, sesuatu yang tak pernah kita miliki,” ungkapnya tegas.
Bahkan, Perancis memilih musik gamelan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Program gamelan di Prancis, mulai di Musee de Ihomme sejak tahun 1985. Sebuah komplek musik yang dibangun pada tahun 1983 di Parc de la Villette. Gamelan juga mendapat tempat di opera-opera, pertunjukan musik, televisi, radio (France Culture) dengan peminat yang banyak.
Gamelan Indonesia (Sunda dan Jawa) berkembang juga di Negeri Paman SAM (USA), negeri ini memiliki 300 perangkat gamelan. Dan, disana ada sekolah khusus yang mempelajari gamelan, dan dinikmati banyak orang.
“Padahal gamelan bisa mengcounter terhadap kecenderungan dan perilaku masyarakat modern yang semakin individualis, kaku, multikultur, multietnis dan sarat dengan perbedaan. Pasalnya gamelan punya karakter tidak berpihak, mementingkan kebersamaan dan kelenturan,” imbuh Dedi.
Dalam permainan musik tradisional ini, dan tak seorang pun yang paling penting. Pemainnya bekerja bersama dari awal sampai akhir. (apl)