IAW: Dugaan Penyimpangan Uang Kompensasi Sampah TPST Bantargebang Berpotensi Rugikan Negara Rp 123,52 Miliar  

Tumpukan sampah di TPST Bantargebang

JAKARTA, Mediakarya – Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap dugaan penyimpangan dana kompensasi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Bawat selama 2021-2023 berpotensi mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 123,52 miliar.

“Investigasi Indonesian Audit Watch atas Perjanjian Kerja Sama (PKS) tahun 2021 antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi menemukan anomali serius, potensi kerugian negara mencapai Rp123,52 miliar selama 2021–2023. Angka itu bukan tuduhan, tapi hasil audit forensik atas dokumen resmi, realisasi anggaran, dan bukti lapangan,” ungkap Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus dalam perbincangan dengan Media Karya di Jakarta, Senin, (20/10/2025.)

IAW merinci, dalam estimasinya indikasi potensi kerugian negara tersebut per tahunnya dalam kurun tersebut adalah, tahun pada 2021 sebesar Rp36,77 miliar, pada 2022 Rp40,68 miliar dan 2023 sebesar Rp46,07 miliar.

Padahal, kata Iskandar, uang tersebut sejatinya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Namun, kenyataannya warga hanya mendapatkan bau busuk sampah yang saban hari tumpukannya bertambah.

“Setiap meter kubik sampah itu berarti kompensasi yang dibayar oleh Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi. Uang itu dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas hidup warga sekitar. Dalam praktik, justru di sinilah mulai tercium bau lain, yakni bau penyimpangan yang lebih tajam dari bau sampah itu sendiri,” tandasnya.

Dia membeberkan, soal aturan tidak diragukan  tetapi pengawasannya yang tidak jalan. Adapun aturan itu meliputi,  UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP 28/2018 tentang Kerja Sama Daerah, Permendagri 22/2020, maupun UU 15/2004 dan UU Tipikor.

“Masalahnya bukan di regulasi, tapi soal kemauan. Regulasi disusun rapi, tapi eksekusinya longgar,” tandas Iskandar.

Dia pun melakukan kalkulasi terkait potensi sampah dikonversi menjadi uang melalui sebuah rumusan sebagaimana dikemukakannya. yakni,  (Jumlah hari) x (volume sampah per M³) x Rp25.000 x (faktor konversi M³ ke tonase) x 120%.

“Namun dibalik rumus itu ada satu kunci rahasia, yakni ‘aktor konversi.’ Angka kecil tapi krusial, yang bisa mengubah laporan keuangan miliaran rupiah hanya dengan menaikkan satu desimal. Nilainya tidak pernah transparan, dan di situlah potensi permainan muncul. Audit forensik IAW menemukan pola mark-up sistematis lewat faktor ini. Hasilnya, indikasi pembayaran berlebih hingga Rp123,5 miliar, yakni tanpa disertai output fisik yang setara,” bebernya.

Terkait Infrastruktur limbah rupanya hanya selesai di kertas, tapi kenyataan di lapangan mangkrak. PKS 2021 juga memuat janji pembangunan instalasi lingkungan, seperti IPAS dan sistem penahan lindi.

“Tapi begitu turun ke lapangan, fasilitas yang seharusnya menyaring air limbah malah tak berfungsi. Air lindi tetap mencemari sawah dan sungai sekitar,” ungkap dia.

Ironisnya, laporan keuangan menyebut proyek-proyek itu ‘selesai’. Pola seperti ini bukan hal baru. BPK selama dua dekade terakhir berulang kali menemukan proyek-proyek serupa: selesai di dokumen, tapi mangkrak di dunia nyata.

Paradoks

Iskandar menjelaskan, salah satu paradoks terbesar ada di struktur pengawasan. Tim pengawas Bantargebang justru dibiayai dari dana kompensasi yang mereka awasi sendiri. Secara hukum, ini conflict of interest murni, tentu ini pelanggaran terang terhadap prinsip independensi pengawasan dalam UU 15/2004.

“BPK sendiri sudah 20 tahun memperingatkan bahaya seperti itu. Tapi di Bantargebang, pola tersebut tetap diulang. Hasilnya bisa ditebak, yakni pengawasan yang lembek, laporan yang bersih di atas kertas, tapi bocor di lapangan,” ucapnya.

Sementara dana kompensasi juga dialirkan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga terdampak.

“Tapi IAW menemukan anomali, yakni sebagian penerima tidak memiliki NIK, bahkan ada yang tinggal di luar zona dampak.Temuan ini senada dengan temuan klasik BPK di berbagai daerah, yaitu data penerima bansos yang tumpang tindih, tidak valid, dan mudah dimanipulasi,” jelasnya lagi.

Menurut Iskandar, kasus yang terjadi di Bantargebang hanya perulangan dari Pola nasional. Kasus Bantargebang bukan unik. Ia hanya bab baru dari pola lama yang berulang di hampir semua daerah, Yakni, 1. Kelemahan pengendalian intern dalam kerja sama daerah. 2. Data penerima bansos yang tidak valid. 3. Infrastruktur yang tidak berfungsi. 4. Pengawasan yang tidak independen.

“BPK sudah menulis pola ini berulang kali, yaitu dari 2004 sampai 2024, di dalam berbagai laporan. Tapi pemerintah daerah seperti menutup telinga. Rekomendasi terus disusun, tapi pelanggaran terus diulang,” tegas Iskandar.

Iskandar kembali menjelaskan, Bantargebang bukan hanya soal tumpukan sampah, tapi tumpukan bukti betapa lemahnya tata kelola publik.  Sampah bisa membusuk dan hilang bersama waktu, tapi penyimpangan uang rakyat tak pernah terurai sendiri.

“Jika kasus ini tidak dibersihkan, maka uang kompensasi yang seharusnya menyejukkan rakyat akan terus menjadi bara dalam sistem keuangan daerah.  TPA lain juga sama jenis klasik persoalannya, maka inisiasi publik untuk ikut membenahi temuan-temuan BPK menjadi layak untuk dikedepankan oleh pemerintah,” kata dia.

Analisis IAW menurut Iskandar,  setidaknya terdapat lima indikasi pelanggaran yakni, anipulasi formula konversi tonase, mengarah ke potensi mark-up, penyaluran BLT tanpa validasi NIK, berpotensi pelanggaran asas akuntabilitas publik, Infrastruktur fiktif/tidak berfungsi, potensi melanggar pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, dana kompensasi dipakai untuk belanja pegawai, itu tak sesuai peruntukan. dan konflik kepentingan dalam pengawasan, bisa timbulkan pelanggaran prinsip good governance.

Atas kasus ini, IAW mekomendasikan, dilakukan,  1. Audit investigatif menyeluruh oleh BPK dan BPKP. 2. Moratorium penyaluran dana kompensasi sampai validasi data selesai. 3. Audit teknis terhadap seluruh infrastruktur lingkungan. 4. Restrukturisasi pengawasan, pisahkan fungsi dan sumber pendanaan. 5. Tindak lanjut hukum oleh KPK atau Kejaksaan bila ditemukan unsur pidana. (Dra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *