‘Karenanya, Kapolri patut mencopot kepala satuan wilayah (kasatwil) tersebut agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat. Bagaimana pun, kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap Korps Bhayangkara menjadi tolok ukur keberhasilan Polri saat ini dan masa mendatang,” tegasnya.
Menurut Sugeng, penanganan kasus kerusuhan melalui penegakan hukum yang terjadi di Stadion GBLA Kota Bandung ini, sangat berbeda jauh dengan kejadian tinju maut Nabire, 14 Juli 2013 yang menelan korban jiwa 18 orang akibat terinjak-injak.
“Hanya dalam waktu empat hari, tersangka sudah diumumkan oleh Kapolda Papua, yang saat itu dijabat oleh Tito Karnavian. Tersangkanya adalah Nabertus Yeimo yang merupakan Ketua Panitia Penyelenggaran Pertandingan Tinju Bupati Cup dengan dijerat pasal 29 ayat 2 KUHP juncto pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan atau denda Rp 5 Miliar,” jelas Sugeng.
Sugeng menceritakan, pada 4 September 2013 juga terjadi kerusuhan di Stadion Manahan Solo saat laga Persis Solo melawan PSS Sleman di Divisi Utama Liga Primer Indonesia (LPI). Sebanyak tujuh orang luka-luka dalam bentrok antar suporter tersebut.
Namun, dalam empat hari kemudian yakni 8 September 2013, Polresta Surakarta telah menetapkan Roy Saputro selaku Ketua Panitia Pelaksana Divisi Utama Liga Primer Indonesia Sportindo dijadikan tersangka. Roy dijerat dengan pelanggaran ketertiban umum pasal 510 ayat 1 KUHP.
“Pada dua kasus diatas, Polri bergerak cepat mengusut peristiwa pidana untuk membuat terang dengan menetapkan tersangkanya. Tapi, dalam peristiwa kematian dua bobotoh Sopiana Yusup dan Ahmad Solihin, Polda Jabar dan Polrestabes Bandung belum juga mengumumkan tersangkanya,” kata Sugeng.