Oleh: Agus Wahid
Cukup mengejutkan. Itulah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Di antara amar putusannya menetapkan ambang batas 7,5% suara hasil pemilihan pemilu 2024 bagi daerah yang berpenduduk 6 – 12 juta.
Tak bisa disangkal, putusan MK tersebut merupakan “kado” politik yang sungguh bermakna bagi kepentingan demokrasi yang berkeadilan. Bagaimana tidak? Putusan itu memangkas ambang batas 20% bagi partai politik dan atau gabungan partai politik berdasarkan perolehan kursi di parlemen sebagai syarat mengajukan calon kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) dalam kontestasi pilkada.
Yang menarik untuk kita telah lebih jauh adalah, implikasi dari putusan MK. Yaitu pertama mampu meluluh-lantahkan arogansi hegemoni partai koalisi yang menutup keran politik partai tertentu yang sengaja dikucilkan atau tidak mau gabung ke dalam koalisi gemuk itu, apapun alasannya.
Putusan MK tersebut juga sekaligus menumbuhkan harapan baru hak seseorang untuk dipilih hanya karena tersingkir oleh manuver politik picik yang dirancang penguasa.
Implikasi kedua, putusan MK tersebut mengantarkan positioning hak politik yang sama bagi partai yang punya keterwakilan di parlemen ataupun yang non saat: punya hak yang sama untuk mengajukan calon kepala daerah, sepanjang partainya (secara sendiri atau gabungan) bisa mencapai 7,5% hasil suara pemilihan legislatif daerah (pileg untuk DPRD) 2024 dari sebuah daerah yang berpenduduk 6 – 12 juta orang.
Turunan dari implikasi pertama dan kedua itu adalah sebuah potensi di antara koalisi partai gemuk akan melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi atau reformulasi koalisi. Di satu sisi, di antara mereka kemungkinan menarik diri dari koalisi gemuknya. Dalam hal ini, sangat terbuka kemungkinan partai seperti PKB, PKS bahkan partai-partai non saat “balik badan”. Di sisi lain, tergerak untuk membangun koalisi baru, dalam pengertian kembali ke koalisi lama yang pernah dibentuk atau benar-benar koalisi baru.
Yang sungguh signifikan implikasi ketiga adalah putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 menjadikan pintu terbuka lebar bagi partai yang tersingkirkan secara terencana dan sistematis oleh rezim dzalim ini. Dalam hal ini sebut saja secara eksplisit PDIP hampir saja ditelanjangi dalam pentas demokrasi pilkada serentak pada 27 November 2024 ini. Tapi, Allah tampak memberikan rahmat pada kepentingan bangsa ini, sehingga lahir putusan MK yang berkeadilan. Tak terpikir jauh sebelumnya.
Kita tahu, selama ini MK menolak gugatan ambang batas minimal 20%, meski terkait pemilihan presiden (pilpres). Tapi, gugatan Partai Buruh dan Gelora terkait hal yang sama (ambang batas) itu dikabulkan, meski tidak seluruhnya. Apapun kualitasnya, putusan MK teranyar terkait pilkada sungguh merupakan jalan baru bagi peta demokrasi di tanah air ini.
Kini, bagaimana PDIP memaknai putusan MK sebagai blessing in disguise tersebut? Apakah tetap dijadikan kesempatan untuk unjuk gigi dengan angkuh dengan cara mengusung kadernya sendiri? Atau, justru lahir kesadaran politik baru yang lebih rasional, mature dan mencerminkan jiwa kenegarawanan?
Perlu kita garis-bawahi, saat ini PDIP tak ada hambatan untuk mengajukan kadernya sendiri, tanpa harus berkoalisi dengan partai manapun. Data politik menunjukkan, PDIP memiliki 850.174 suara atau 14,01% dari pileg DKI Jakarta 2024. Karena itu, untuk pilkada sebuah daerah yang berpenduduk 6 – 12 juta orang seperti Jakarta ini, PDIP bisa melenggang sendiri.
Pertanyaannya, apakah PDIP akan mengajukan kadernya sendiri dijamin menang? Diragukan. Nama Ahok yang digadang-gadang karena kadernya sendiri masih mendapat resistensi kuat di tengah Jakarta. Seperti yang diakui sendiri oleh Ahok pada podcast Akbar Faisal, dirinya tidak bakal menang maju sebagai calon gubernur dalam pilkada Jakarta. Terbukti pada pilkada 2017. Banyak alasan yang bisa diurai lebih jauh.
Apapun argumentasinya, PDIP harus mampu berfikir jernih dalam mengajukan kandidatnya. Tidak harus kadernya sendiri. Yang terpenting, ada kalkulasi menang. Yang perlu dicatat, bukan sekedar memenangkan kontestasi. Tapi, ikhtiar memenangkannya merupakan bentuk perlawanan sistematis terhadap kecongkakan rezim Jokowo yang memang sudah berusaha mengkerangkeng bahkan mengamputasi PDIP.
Dalam hal ini sebagai makna implikasi keempat ikhtiar besar untuk memenangkan pilkada di tengah Jakarta merupakan strategi menyelamatkan kedaulatan wilayah Jakarta dan aset-asetnya dari “Aseng”. Inilah sikap nasionalis sejati PDIP dalam kepemimpinan seorang Megawati Soekarnoputri.
Karena itu, Megawati dan seluruh jajaran utamanya harus berfikir jernih tanpa memandang perbedaan silsilah, etnis dan atau keyakinan personal. Yang terpenting adalah kandidat yang harus diusung adalah kalkulasi kemenangan dalam mengarungi kontestasi pilkada Jakarta. Lebih dari itu sosoknya berintegritas, nasionalis sejati, teruji kinerjanya dan tak pernah bertindak sektarian dan intoleran terhadap yang berbeda. Prinsip keadilan selalu dikedepankan, dalam wajah kebijakan, bahkan prinsip hidup personalnya.
Mencermati sejumlah kriteria itu, hanya sosok Anies Baswedan yang tepat untuk diusung PDIP untuk Jakarta. Sebagai partai pengusung, PDIP leluasa menentukan calon wakil gubernurnya. Bisa Andhika Perkasa, Rano Karno ataupun Hendrar Prihadi (Mantan Walikota Semarang).
Tentu, hak PDIP untuk menentukan kandidatnya. Namun, jika menyisihkan Anies, kandidat potensial ini akan langsung digandeng partai-partai lain. Sangat mungkin PKS dan PKB kembali lagi. Bahkan, partai-partai non saat lainnya. Harus dicatat, hadirnya Putusan MK teranyar itu menumbuhkan keberanian baru untuk merapat ke Anies. Dan siapapun wakilnya, Anies akan menjadi faktor determinan kemenangan. Inilah yang ditakuti Ridwal Kamil sehingga pernah berseloroh, “Siap maju ke Jakarta asal tidak berhadapan dengan Anies”. Karena itu, rezim karena ambisi menenggelamkan Anies dicarikan formulasi: menggiring seluruh partai, kecuali satu partai yang sebelum putusan MK teranyar itu tidak bisa mencalonkan gubernurnya, termasuk Anies yang siap diusulkan.
Kini, partai-partai bisa mengusulkan kandidatnya asal secara partai sendiri atau gabungan bisa mencapai 7,5% bagi daerah seperti Jakarta. Mereka pun tampak geliat untuk berlomba-lomba merapat ke Gubernur DKI Jakarta periode 2017 – 2022 ini. Karena pertimbangan prospektus kemenangan Anies. Maka, akan gigit jari siapapun partai yang mendeskreditkan Anies. Itulah peta politik baru sebagai kado MK yang relatif mengembalikan ruh demokrasi di Tanah Air ini dalam bingkai keadilan.
Penulis: Analis Politik