Kepala Dinas Diisi Orang Dekat Wali Kota, Kota Bekasi Krisis Pejabat Berkompeten

Budi Rahman (dilingkari) saat dilantik sebagai Camat Medansatria. (Ist)

BANDUNG, Mediakarya – Direktur eksekutif Parasanda Bumi Pertiwi (Prabu) Foundation, Asep Muhargono, menilai bahwa Kota Bekasi tengah dilanda krisis birokrasi yang berkompetensi.

Menurut Asep, saat ini sejumlah dinas di Kota Bekasi diisi oleh  pejabat yang tidak memiliki kualifikasi, atau kompetensi di bidangnya, namun dipaksakan untuk menduduki jabatan tertentu.

Persoalan ini bermula dari proses mutasi jabatan yang tidak berdasarkan meritokrasi (kualifikasi, kompetensi, kinerja). “Hal itu ditandai dengan kuatnya patronase, nepotisme, dan politik praktis, di mana jabatan dianggap komoditas politik, bukan tanggung jawab publik, meskipun aturan ASN mewajibkan sistem meritokrasi,” ujar Asep saat diminta keterangannya oleh Mediakarya di Bandung, Jumat (12/12/2025).

Fenomena ini menyebabkan yang memiliki akses atau kedekatan dengan Wali Kota yang naik, bukan yang memiliki kompetensi di bidangya, akibatnya reformasi birokrasi mandek.

Seperti, baru-baru ini Wali Kota Bekasi Tri Adhianto melantik adik kandungnya sebagai Kepala Dinas Kesehatan. Padahal latar belakangnya merupakan dokter hewan. Kemudian, Tri juga mengangkat adik iparnya sebagai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).

“Parahnya lagi, mantan pengguna narkoba dilantik menjadi Camat Medansatria. Tentu publik menanyakan apa dasar pertimbangan Tri Adhianto melantik mantan pecandu narkoba, apa sudah tidak ada sosok lain sehingga Wali Kota Bekasi melantiknya,” tegas Asep.

Jabatan sebagai Komoditas Politik

Asep perpendapat, pengisian jabatan struktural seringkali menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan atau bagi-bagi kekuasaan politik, bukan untuk efisiensi kinerja.

“Sehingga prinsip kualifikasi, kompetensi, dan kinerja sering diabaikan, mengesampingkan prinsip keadilan dan objektivitas. Hal itu terbukti beberapa pos jabatan eselon tertentu diisi oleh orang yang tidak memiliki kompetensi,” jelas Asep.

Selain itu, mekanisme pengisian jabatan eselon III dan IV seringkali tidak terbuka dan didominasi oleh pertimbangan internal Baperjakat yang dipengaruhi faktor non-merit. Sementara, pejabat yang kompeten namun tidak memiliki ‘akses’ atau kedekatan politik akan tersingkir.

Meskipun ada aturan dan semangat meritokrasi dalam UU ASN (UU No. 5/2014), pelaksanaannya di lapangan, terutama dalam mutasi jabatan, masih sering terdistorsi oleh praktik-praktik non-meritokratis, seperti yang terjadi di beberapa daerah seperti Bekasi atau Majene (berdasarkan penelitian).

“Untuk itu Prabu Foundation mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk mengungkap adanya dugaan transaksional dalam proses rotasi dan mutasi yang terjadi di Kota Bekasi. Bahkan, ASN yang kabarnya memiliki kedekatan dengan Wali Kota sebelumnya, saat ini banyak ditempatkan pada posisi non strategis,” tutup Asep. (Asp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *