JAKARTA, Mediakarya – Memang tidak ada yang pernah memastikan, seperti apa kriteria perempuan yang bisa memikat hati Sukarno. Namun jika kita mencoba menarik benang merahnya, bolehlah kita berkesimpulan, Sukarno adalah pengagum kecantikan alami. Sebuah kecantikan dari dalam yang memancarkan keanggunan tanpa banyak polesan.
Sukarno sendiri sebagai sang Arjuna dalam lakon percintaan ini juga tidak pernah secara gamblang mengungkap tentang tipe perempuan idealnya. Tercatat, dia hanya pernah sekali mengutarakannya kepada Fatimah (kemudian menjadi Fatmawati) tatkala gadis Bengkulu itu masih begitu lugu.
Seperti ditulis dalam An Autobiography as Told to Cindy Adams, saat belum menikah, keduanya pernah plesir di tepi pantai. Saat itulah Fatmawati melontarkan pertanyaan tentang jenis perempuan yang dikagumi Sukarno, ayah angkat dari sahabatnya ketika itu.
Sukarno terkejut, itu pasti. Namun sebagai pria yang sudah makan asam garam dalam menghadapi perempuan, situasi itu justru digunakannya untuk melancarkan “serangan baliknya” ke jantung lawan.
Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah dan berkerudung kuning diselubungkan dengan sopan. Kukatakan padanya aku menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita modern yang pakai rok pendek, baju ketat, gincu bibir yang menyilaukan,” kata Soekarno.
Awalnya Fatmawati yang polos tidak sadar, ungkapan itu sesungguhnya menyasar ke dirinya. Kata-kata Sukarno terkesan jujur dan tulus, sehingga dia jadi terkesima.
Berawal dari simpati, perlahan-lahan jatuh hati. Hingga akhirnya Fatmawati bersedia dinikahi oleh Sukarno, meski konsekuensinya harus menyakiti hati Inggit yang sudah mendampingi suaminya selama hampir 20 tahun.
Harus diakui, perempuan akan sulit menolak curahan perhatian yang besar dari lelaki yang begitu karismatis. Bisa jadi, ini pula yang terjadi pada perempuan-perempuan yang didekati oleh Sukarno. Mereka tak kuasa menolak perhatian yang terasa mengejutkan, dari sosok yang semula mereka kagumi.
Namun di balik itu semua, ada yang lebih menentukan, yakni kegigihan Sukarno dalam mendapatkan perempuan-perempuan pujaan hatinya. Boleh juga kita artikan, keinginan Sukarno sulit untuk ditolak.
Dari sejumlah perempuan yang diperistri Sukarno, sesungguhnya sebagian dari mereka tidak berstatus sendirian. Dimulai saat menikahi Inggit Garnasih sebagai perkawinan yang kedua, ibu kosnya itu masih berstatus istri dari Sanusi. Namun karena Sukarno melihat Inggit terlampau disia-siakan suaminya, dia berinisiatif untuk “menyelamatkannya”.
Pertemuannya dengan Siti Suhartini atau Hartini di Salatiga pada 1954, juga membuat Sukarno merasa harus memilikinya. Buku Bung Karno Panglima Revolusi oleh Peter Kasenda mengungkap, kala itu sebenarnya Hartini masih terikat perkawinan dengan Dr. Soewondo. Bahkan sudah ada lima anak.
Hartini sendiri membantah soal affair dengan Sukarno. Bahkan dia mengaku tidak langsung mengiyakan sewaktu dilamar untuk menikah. “Saya meminta waktu kepada beliau. Tiga bulan setelah itu, saya menerima lamarannya,” tutur perempuan Jawa yang lemah lembut itu.
Hanya saja, gosip rupanya sudah terlanjur merebak. Sampai-sampai, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menegur Sukarno agar segera menikahi saja Hartini untuk mengakhiri desas-desus itu.
Begitu pula dengan beberapa gadis yang dinikahi Sukarno saat belum menikah, sebenarnya masih menjalin sebuah hubungan percintaan. Haryati yang sebenarnya sudah memiliki pacar, akhirnya luluh dengan rayuan yang begitu gencar. Atau Yurike Sanger dan Heldy Djafar, dua anak SMA yang sebenarnya juga sedang naksir-naksiran dengan pemuda sebayanya.
Dari sisi perempuan, pada awalnya tentu saja ada rasa terkejut ketika mendapat perhatian yang begitu besar. Di samping tentu ada kebanggaan tersendiri, didekati oleh seseorang dengan kekuasan dan pengaruh yang begitu besar. Mereka juga tidak menyangka akan diperlakukan sedemikian penting.
Apalagi harus diakui, dari segi penampilan fisik, Sukarno sendiri punya daya tarik. Untuk ukuran pria di Indonesia, sosoknya cukup menawan. Terutama ketika dia mengenakan pakaian kebesarannya: jas ala pemimpin militer, peci hitam, kacamata hitam, serta tongkat komando. Tampak begitu gagah.