Oleh Agus Wahid
Fenomenal. Itulah sosok Kang Dedy Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat (Jabar) saat ini. Kiprahnya membikin seluruh warga Jabar mengenalinya, kecuali kalangan yang sudah udzur karena usia. Juga, dikenal oleh masyarakat di luar Jabar, katakanlah Jakarta, Banten, Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim). Tidak tertutup kemungkinan karena pernah terlihat mesra dengan gubernurnya warga Maluku Utara juga mengenal KDM. Masyarakat dari berbagai provinsi lain – karena masivitas informasi tentang KDM di media sosial juga mengenalinya.
Masyarakat luas mengenalinya bukan dari sisi negatifnya (notorious), tapi justru sebaliknya. Hal ini karena serangkaian geberakan atau manuvernya bisa dinilai pro kepentingan rakyat. Itulah gerakan kepemimpinannya sebagai orang No. 1 Jabar. Yang perlu kita garisbawahi, bagaimana manuver dan atau gerakannya dalam perspekif teologi, bukan sekedar agama?
Diksi teologi sengaja dipilih sebagai makna kebertuhanan dan adanya dimensi ilmu dalam bertuhan. Sementara, agama jika kita lihat bahasa sangsekerta sekedar sinonim dengan makna “keberaturan”. Karenanya, teologi sangat tepat dijadikan pisau analisia terhadap gerakan atau manuver KDM.
Dalam perspektif teologi, serangkaian gerakan kepemimpinan KDM bisa dikategorikan sebagai gerakan dakwah yang membumikan ajaran “nahi munkar”. Gerakannya sangat progresif. Mimbikin masyarakat terperangah penuh kagum. Tapi, juga tersentak kaget dan galau. Dua responsi itu sangat tergantung dari mana atau siapa penilai.
Seperti kita saksikan bersama, tak lama KDM naik sebagai Gubernur Jabar, terdapat badai banjir yang melanda beberapa titik di wilayah Jabar. KDM langsung sigap. Diagnosanya minimal ada dua faktor. Pertama, terjadi alih fungsi hutan produksi. Sebagian menjadi villa atau perumahan, area rekreasi.
Semuanya mengakibatkan pembabatan pepohonan dalam jumlah tak terhitung. Selanjutnya, pembabatan diserta pengerasan permukaan tanah. Akibatnya, hujan yang bercurah deras langsung bermigrasi ke daerah-daerah rendah. Bukan hanya di sekitarnya, tapi juga nun jauh ke arah utara (laut). Implikasinya bukan hanya terjadi longsor di daerah-daerah puncak dan pegunungan wilayah Jabar, tapi banjir disejumlah daerah lainnya.
Kedua, terjadi penyempitan aliran sungai sebagai saluran migrasi utama air yang menderas itu. Penyempitannya bukan semata-mata karena ulah manusia yang menjadikan sungai sebagai tempat buang sampah, tapi juga digunakan untuk hunian. Bahkan, seperti yang terjadi di Bekasi Selatan, daerah aliran sungai dijadikan jalan raya: dengan cara membangun jalan raya di atas sungai.
Kita siksikan, KDM langsung mengambil prakarsa besar. Dengan otoritas yang ada di tangannya sebagai Gubernur, dia menertibkan dua faktor tersebut. Serangkaian akibat banjir ditertibkan secara ekstrim, meski harus berhadapan dengan berbagai pihak yang tak sependapat kerangka solusinya, termasuk kebijakan Pusat (kementerian teknis terkait).
Secara teologis, KDM menjalan perintah Allah. Yaitu, menjalankan peran kepemimpinannya dengan cara mengelola atau merawat lingkungan. Untuk mencegah alam mengamuk. Agar tidak terjadi lagi penderitaan umat manusia akibat longsor dan banjir. Harus kita catat, dak`wah bil-hal KDM terkait nahi munkar itu clear. Dengan kekuasaan (al-yadd) yang dimilikinya, dia gunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia. Konkret hasilnya. Sarat dengan dimensi pro kemanusiaan.
Sementara, kita saksikan, KDM juga tak sungkan, tanpa ragu sedikitpun untuk menertibkan anggaran yang diduga kuat terjadi penyalahgunaan dalam program pembangunan fisik dan nonfisik. Langkahnya di satu menyerahkan persoalannya kepada aparat penegak hukum untuk memproses dugaan kuat penyalahgunaan itu. Di sisi lain, merevisi postur anggaran yang tidak tepat sasaran. Itulah hal mengakibatnya ketegangan dengan mitra kerjanya dari unsur DPRD Provinsi Jabar.
Belum lama ini kita saksikan sikap tegas KDM terhadap kerusakan area akibat penambangan pasir yang sudah sangat parah. Sekali lagi, dengan kepemilikan kekuasaan (al-yadd), dia hadapi siapapun yang merusak wilayah Jabar. Ini berarti, KDM – secara gantle – berani menghadapi para pemodal dan siapapun yang berada di belakangnya, dari unsur aparat atau pejabat striktural daerah ataupun pusat, yang semuanya berujung pada Tindakan penyalahgunaan kewenangan. Sungguh terpuji keberaniannya.
Perlu kita catat, komitmen dan tekad membersihkan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan abuse of power secara teologis jelaslah masuk dalam terminologi menegakkan syariah (nahi munkar) yang jelas-jelas melarang mengambil hak yang bukan miliknya. Dan penegakan syariah ini juga bermakna amr mak`ruf. Karena, membesihkan praktik korupsi atau penyahahgunaan wewenang merupakan domain menjalankan perintah Allah.
Juga, hampir setiap hari kita saksikan bagaimana KDM beramal soleh dalam bentuk gemar dan ringan bersedekah. Menurut catatan yang terviral di media sosial, setidaknya sekitar Rp 40 – 50 juta, KDM bersedekah kepada kaum fakir-miskin, janda-duda tua yang sudah tak mampu secara fisik untuk mengais rizeki. Bahkan, kita saksikan, KDM bersikap proaktif mencari “target” yang harus menerima sedekah harian. Tak bisa disangkal, bersedekah bagian dari ajaran teologis. Allah dan Rasul memerintahkan bersedekah. Karena itu “ringan tangan” KDM dalam bersedekah merupakan panorama sosok pemimpin yang luar biasa. Layak menjadi teladan. Dan layak pula diplot menjadi pemimpin masa depan untuk jenjang lebih tinggi, misalnya presiden RI.
Meski demikian, ada catatan yang sangat krusial yang harus direnungkan dan dijadikan pijakan rakyat untuk menilai dengan jernih. Catatan ini akan menjadi penentu apakah amaliah mulianya bernilai positif di mata Allah dan Rasul? Dari perspektif teologi, serangkaian amalan positif (amr ma`ruf dan nahi munkar) yang diinformasikan ke ranah publik berpotensi hilang nilainya. Tanpa bekas. Posisinya bagai debu. Jika dalam dirinya muncul rasa “inilah aku telah berbuat baik kepada siapapun, peduli terhadap fakir miskin”, maka rasa itu – dalam perspektif teologi merupakan tindakan riya`.
Apakah KDM dalam menjalan misi amar ma`ruf selama ini untuk mancari sanjung puja? Wallahu `alam. Hanya Allah yang tahu isi hati KDM. Untuk mengetahui persis rasa KDM, maka ada instrumen sederhana untuk menilai dengan jernih. Apakah serangkaian amaliahnya untuk mendapatkan pujian, setidaknya ingin dilihat orang lain? Untuk menjawabnya bukan dengan prasangka, tapi dengan fakta yang menimbulkan pertanyaan.
Penulis: Analis Politik dan Pembangunan