“Misalnya jika Erlangga Hartarto sebagai Capres dan Ganjar Pranowo Cawapresnya akan menjadi duet maut. Erlangga Hartarto yang didukung oleh Golkar sebagai pemenang pemilu kedua merupakan sosok teknokrat yang profesional dalam mengurus pemerintahan dan negara. Di samping itu para elit Golkar juga selama 30 tahun mengawal orde baru yang hasil pembangunan saat ini masih dirasakan. Sedang sosok Ganjar disamping berpengalaman mengurus pemerintahan di daerah Jawa Tengah didukung kuat oleh arus bawah dan akar rumput yang selama bernaung di PDIP,” ujar Bambang.
Faktanya, lanjut Bambang, meskipun mulai disingkirkan oleh PDIP tapi gerbong PDIP di akar rumput tidak sedikit yang akan tetap setia mendukung Ganjar, sebagai indikasinya dukungan relawan tersebut yang terus menggelinding ke seluruh Indonesia.
“Duet maut ini ini kan menjadi harapan publik mampu melakukan perubahan fundamental yang lebih masif. Selama ini masyarakat dan banyak kalangan menilai era orde baru berhasil membangun tatanan masyarakat yang lebih modern tetapi gagal dalam memakmurkan dan menegakan keadilan,” tambang Bambang.
Bambang mengatakan, pengalaman tersebut tentunya menjadi cambuk bahwa model dan pardigma pembangunan masa lalu yang sampai saat ini era reformasi di take over modelnya yakni neo liberalisme harus ditinggalkan. Terbukti menghadapi pandemi covid 19 kebijakannya dinilai kedodoran.
“Artinya pusaran kuat ketergantungan dengan kekuatan asing yang masih menggurita presiden yang akan datang harus mampu melepaskan diri dari gurita tadi. Pemikiran baru harus menjadi landasan utama dalam menggerakan roda pemerintahan. Target tahun 2045 Indonesia menjadi lima negara besar dunia yang berdaulat harus menjadi visi dan misinya presiden yang akan dating,” ungkap Wakil Ketua Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara ini.