Bayi Danantara Dirawat Orang Salah, Gagal Tumbuh Jadi Harapan Bangsa

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Bayangkan seorang bayi baru lahir, tapi langsung diberi warisan emas dari keluarganya. Sayangnya, bayi itu justru dibesarkan oleh orang-orang yang tak punya pengalaman mengurus anak, apalagi bayi emas sekelas ini.

Itulah Danantara, Sovereign Wealth Fund (SWF) versi Indonesia, yang dalam empat bulan usianya, bukan tumbuh sehat seperti bayi SWF lain di dunia, tapi justru menunjukkan gejala gagal tumbuh.

Danantara resmi berdiri Maret 2025 melalui Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2025. Baru empat bulan usianya, tapi dana publik triliunan rupiah dari dividen BUMN sudah disalurkan kepadanya. Sayangnya, seperti bayi yang diasuh oleh perawat salah sekolah, Danantara gagal menunjukkan satu pun performa pertumbuhan yang meyakinkan.

Bayi SWF Tetangga Lain

Mari bandingkan. Norwegia, saat mendirikan NBIM pada 1996, langsung menginvestasikan dana awalnya ke obligasi global senilai 1,2 miliar dolar hanya dalam waktu empat bulan.

GIC Singapura di 1981, sejak bulan-bulan pertamanya, telah mengakuisisi saham raksasa seperti Microsoft dan aset real estat di Amerika Serikat.

Bayi yang paling dekat, di Malaysia lewat Khazanah, tak menunggu lama menanamkan modal di sektor strategis digital dan kesehatan.

Bahkan Rusia dan Kazakhstan, dengan sumber dana hasil privatisasi BUMN, segera menyasar transformasi ekonomi domestik mereka dalam hitungan kuartal pertama.

Empat bulan berlalu, tak ada satu pun portofolio investasi yang bisa diverifikasi. Tidak ada akuisisi. Tidak ada penyertaan modal produktif. Yang terdengar hanya wacana “kampus impian” dengan estimasi anggaran Rp1,8 triliun dan sederet rapat internal mewah.

Dan semua itu dibiayai dari dividen BUMN, yang semestinya masuk kas negara, tapi justru disedot Danantara yang dilakukan tanpa transparansi, tanpa laporan publik, dan tanpa ‘manfaat’ nyata bagi rakyat.

Ini bukan hanya soal kinerja lembaga, tapi soal siapa yang ditunjuk merawat bayi itu. Danantara tidak dirawat pemimpin kelas tokoh pasar keuangan dunia, bukan pula jebolan manajer investasi sovereign fund global, bahkan bukan pemilik pengalaman di bidang perbendaharaan negara. Tapi orang-orang yang lebih terbiasa mengurus proposal proyek, bukan pertumbuhan portofolio nasional. Maka wajar jika bayi ini terlihat kurus, lemas, dan tak bergerak seharusnya.

Sementara negara kehilangan Rp4,1 triliun potensi PNBP dalam empat bulan, yang merawat Danantara malah menghabiskan anggaran operasional yang tidak kecil. Setoran dividen BRI triwulan pertama tahun ini sebesar Rp3,2 triliun langsung dialihkan, tanpa satu pun laporan resmi ke publik.

Gaji para perawat bayi itu diduga mencapai Rp120 miliar per bulan, cukup untuk membangun 50 sekolah rakyat seperti cita-cita Presiden Prabowo. Tapi rakyat tak melihat sekolah, tak melihat investasi, tak melihat manfaat, hanya mendengar mimpi yang digadang-gadang elite Danantara.

Apakah Presiden Prabowo tahu?

Harusnya tahu. Tapi barangkali belum sadar bahwa lembaga yang ia bayangkan akan membebaskan Indonesia dari jerat utang asing ini justru berisiko menjadi parasit fiskal, seperti BLBI jilid dua.

Bayi yang lahir dari cita-cita luhur ini kini digendong oleh tangan-tangan yang salah. Dan kalau Presiden tidak bertindak segera, maka bayi ini akan tumbuh menjadi beban negara, bukan harapan bangsa!

Seruan Indonesian Audit Watch

IAW menyerukan audit menyeluruh oleh BPK, moratorium dana BUMN ke Danantara, dan evaluasi total terhadap struktur pengurusnya.

Kelahiran boleh gegap gempita, tapi jika pengasuhnya salah, maka besar kemungkinan bayi itu tumbuh menyimpang.

Danantara masih bisa diselamatkan asal jangan terus dipelihara oleh mereka yang tak paham cara membesarkan lembaga keuangan negara kelas dunia.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *