JAKARTA, Mediakarya – Kasus dugaan penggunaan identitas ganda oleh istri Wali Kota Bekasi, Dwi Setyowati (sebelumnya dikenal sebagai Wiwiek Hargono), kini terus menjadi sorotan publik.
Bukan sekadar isu pribadi, tetapi juga menguji sejauh mana kepatuhan penyelenggara negara, beserta keluarganya terhadap prinsip integritas, keteladanan, dan pengelolaan keuangan negara yang bersih.
Kasus tersebut kini menjadi perhatian publik. Bahkan, Ketua LSM Tri Nusa Kota Bekasi Maksum Alfarizi alias Mandor Baya mendorong Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi segera menyikapi persoalan tersebut.
Menurut dia, dalam statemennya gubernur yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini berulang kali menekankan pejabat daerah maupun keluarganya agar menjunjung tinggi norma dan etika.
“LSM Tri Nusa Kota Bekasi tidak akan mencabut laporan di Bareskrim Polri terkait dengan dugaan penggunaan identitas ganda yang dilakukan oleh Dwi Setyowati alias Wiwiek Hargono yang juga merupakan istri Wali Kota Bekasi Tri Adhianto,” tegas Mandor Baya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Mandor Baya mengaku dalam waktu dekat akan menyambangi kediaman KDM untuk mengadukan soal kasus dugaan penggunaan identitas ganda yang dilakukan oleh Ketua KORMI Kota Bekasi itu.
“Sebab di acara resmi pemerintahan Kota Bekasi, Dwi Setyowati seolah menantang proses hukum yang telah bergulir di Bareskrim Polri. Bahkan dengan bangganya dia menggunakan nama Wiwiek Hargono. Padahal nama yang resmi adalah Dwi Setyowati,” tandasnya.
Mandor Baya menegaskan, penyelenggara negara, termasuk keluarganya, memegang tanggung jawab moral dan hukum untuk menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
“Dalam hal ini, peran istri kepala daerah tak bisa dipandang sebelah mata, terutama saat menjabat sebagai Ketua TP PKK dan Ketua KORMI Kota Bekasi dua posisi strategis yang berhubungan langsung dengan program-program berbasis anggaran daerah,” ungkapnya.
Penggunaan identitas ganda berpotensi melanggar prinsip integritas dan akuntabilitas yang diamanatkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Bagaimana mungkin seorang istri kepala daerah, yang seharusnya menjadi teladan, justru diduga menggunakan identitas palsu? Ini bukan lagi sekadar urusan nama, tapi soal kejujuran di tengah kepercayaan publik,” katanya.
Menurutnya, dari sudut pandang etika pemerintahan, tindakan tersebut melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan.
Regulasi ini menegaskan bahwa Ketua TP PKK adalah figur teladan di masyarakat. Selain itu, dia menyoroti potensi pelanggaran Pasal 4 Ayat 1 Huruf d UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang tindakan mengandung unsur penipuan atau penyalahgunaan wewenang.
Potensi Tindak Pidana: Pemalsuan Identitas Bukan Perkara Sepele
Jika terbukti, dugaan identitas ganda ini bisa berlanjut ke ranah pidana. Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat) menjadi landasan hukum yang berpotensi menjerat pihak terkait.
“Ini penting karena istri pejabat publik memegang posisi yang bersinggungan dengan dana publik. Pemalsuan identitas bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang dan anggaran,” ujar dia.
Audit Keuangan: Mengungkap Potensi Kerugian Negara
Sebagai Ketua TP PKK dan Ketua KORMI, Dwi Setyowati berwenang mengelola program berbasis anggaran daerah. Dugaan identitas ganda memunculkan kekhawatiran terkait double budgeting, rekening ganda, hingga penggunaan dana hibah dengan nama berbeda.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menjadi dasar hukum penting untuk menelisik aliran dana di dua organisasi tersebut.
Dia pun menekankan perlunya audit kepatuhan dan forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Inspektorat Daerah. Beberapa poin penting yang harus diselidiki meliputi: