SAMOSIR, Mediakarya – Penanganan laporan dugaan pengancaman menggunakan alat yang dibuat Veronika Sidabutar, SH dengan nomor: LP/B/113/IV/2025/SPKT/POLRES SAMOSIR/POLDA SUMUT sejak 3 April 2025 kembali menjadi sorotan.
Meski berkas perkara tersebut telah dinyatakan lengkap atau P21 oleh Kejaksaan Negeri Samosir pada 15 Oktober 2025, hingga kini kasus itu belum juga naik ke tahap dua.
Tersangka TS, yang diduga melakukan pengancaman menggunakan parang dan kayu, juga belum ditahan meskipun berkas perkaranya telah dilimpahkan Polres Samosir ke kejaksaan.
Kuasa hukum Veronika, Horlas Monang, SH, menyampaikan kekecewaan kliennya pada Rabu, 19 November 2025.
“Saya sudah sampaikan bahwa klien saya tidak mau berdamai. Di Polsek Simanindo sebelumnya sudah dilakukan mediasi tapi gagal. Mengapa sekarang Kejari terkesan memaksakan perdamaian?” ujarnya.
Horlas kemudian menyinggung isi SP2HP Polres Samosir tertanggal 22 Oktober 2025, yang menyatakan bahwa tahap dua ditunda karena menunggu laporan balik yang dibuat TS di Polsek Simanindo. Kedua perkara disebut akan diproses bersama setelah sama-sama mencapai P21.
“Laporan klien saya adalah pengancaman dengan alat. Laporan balik hanyalah dugaan penghinaan dan dibuat dua bulan setelahnya. Dua perkara ini berbeda, tapi diperlakukan sama. Kalau restorative justice mau diterapkan, silakan, tapi tidak perlu menunggu laporan balik itu lengkap. Laporan klien saya jelas lebih dulu dan lebih berat,” tegasnya.
Sikap Kejaksaan juga dikonfirmasi oleh Jaksa Nova Ginting, yang menyebut bahwa Kejaksaan tetap menunggu laporan TS mencapai P21. Setelah posisi kedua perkara sejajar, Kejari berencana memfasilitasi perdamaian. Bila tidak tercapai kesepakatan, kedua kasus akan diproses bersama ke tahap dua.
Keterangan terbaru disampaikan Kasi Pidum Kejari Samosir, Parlin Situmorang, disampaikan pada Kamis, 20 November 2025, yang menegaskan bahwa langkah Kejaksaan mengutamakan pendekatan kemanusiaan melalui keadilan restoratif.
“Terhadap perkara tindak pidana pengancaman atas nama tersangka Tumborina Sidabutar, setelah kami meneliti berkas perkara tersebut, didapati fakta bahwa tersangka dan pelapor adalah saudara kandung,” ujar Parlin.
“Dengan memperhatikan penegakan hukum yang humanis dan berorientasi pada kemanfaatan hukum, kami mengedepankan penyelesaian perkara secara kekeluargaan melalui mekanisme keadilan restoratif (RJ) berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” lanjutnya.
Atas dasar itu, Parlin menyatakan bahwa Kejaksaan menyarankan kedua pihak mempertimbangkan pelaksanaan RJ dengan harapan hubungan keluarga yang retak dapat dipulihkan.
Meski demikian, Veronika Sidabutar meminta agar proses hukum berjalan sesuai aturan dan penundaan tahap dua tidak dilakukan tanpa dasar yang jelas.
“Sedikit banyak kami paham hukum. Penundaan dari P21 ke tahap dua harus berdasarkan aturan agar tidak menimbulkan informasi liar,” ujarnya.
Ia kemudian menceritakan kembali kronologis kejadian 3 April 2025 yang membuatnya melapor ke Polres Samosir.
“Saya pulang kampung karena mamak saya sakit, tapi TS melarang saya bertemu. Kepala saya dipukul dengan kayu sampai saya oyong. Polsek Simanindo datang dan menyarankan damai. Saya setuju berdamai meskipun kepala masih pusing, tapi TS yang menolak. Karena itu saya disarankan oleh pihak Polsek Simanindo membuat laporan ke Polres,” jelasnya.
Veronika menegaskan bahwa sejak awal ia tidak menolak perdamaian, namun keadaan kini berbeda.
“Jadi sejak awal bukan saya yang tidak mau berdamai, tapi TS. Sekarang saya berharap kejaksaan tidak perlu menunggu-nunggu lagi. Lanjutkan saja prosesnya sampai ke Pengadilan,” tegasnya. (Vidi)
