KTKI Korban PHK Massal Minta Audiensi pada Puan Maharani dan Komisi 9

JAKARTA, Mediakarya – Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang merupakan korban PHK massal oleh Menteri Kesehatan, mengajukan permohonan audiensi kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dan Pimpinan Komisi 9. Permohonan ini terkait dengan kontroversi pembentukan Konsil Kesehatan yang diduga melanggar asas _good public governance_.

Tenaga kesehatan se-Indonesia menuntut langkah konkret untuk menjaga transparansi dan integritas dalam tubuh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dengan beberapa tuntutan sebagai berikut:

1. Transparansi dalam Mekanisme Seleksi anggota KKI, Kolegium, dan Majelis Disiplin Profesi. Proses seleksi harus dilakukan secara terbuka, adil, dan akuntabel.

2. Pemberhentian drg. Arianti Anaya dari jabatannya sebagai Ketua KKI, karena adanya konflik kepentingan terkait keterlibatannya sebagai anggota Panitia Seleksi.

3. Peninjauan Ulang Penunjukan Sundoyo sebagai Ketua Majelis Disiplin Profesi, mengingat keterlibatannya dalam Panitia Seleksi yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam proses seleksi.

“Pelantikan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) oleh Menteri Kesehatan pada 20 Oktober 2024, menimbulkan masalah hukum terkait penunjukan drg. Arianti Anaya sebagai Ketua KKI, yang juga terlibat dalam Panitia Seleksi,” tegas Her Basuki dari Akademi Keperawatan di Surakarta dari Konsil Keperawatan KTKI.

Ia menambahkan bahwa Anaya sudah pensiun sejak 1 Oktober 2024. Penunjukan Sundoyo sebagai Ketua Majelis Disiplin Profesi juga dipertanyakan karena masih aktif sebagai Staf Ahli Hukum Kemenkes.

Lebih lanjut, Rachma Fitriati, Anggota Konsil Kesehatan Masyarakat, mengatakan, penunjukan Ketua KKI di dalam Kepres sesungguhnya tidak lazim di antara LNS yang lain. Karena sifat lembaga nonstruktural (LNS) adalah Kolektif Kolegial.

“Seharusnya dilakukan pemilihan di antara sembilan anggota KKI lainnya, bukan malah Menkes ikut campur,” kata Acep Effendi Profesi Entomolog Kesehatan dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT.

Acep sendiri kini terkatung-katung di Jakarta karena sudah terlanjur mengajukan pinjaman di bank pemerintah karena kewajiban untuk berdomisili di DKI Jakarta.

Namun ketika dikonfirmasi tentang kebijakan Anggota KTKI wajib berdomisili di DKI Jakarta, Mantan Dirjen Nakes, drg. Arianti Anaya yang membuat kebijakan ini melalui Set KTKI drg. Diono Susilo Yuskasran, MPH, mereka tidak bersedia diwawancarai dan tidak membalas pesan singkat melalui WhatsApp juga tidak dibalas.

Sementara Agus Budi Prasetyo, Anggota KTKI yang sebelumnya berprofesi Penata Anestesi Konsil Konsil Keteknisian Medis menyorot intervensi Menteri Kesehatan terhadap independensi LNS yang seharusnya bekerja secara independen sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 17/2023 tentang Kesehatan.

“Ini melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang seharus nya menjadi jargon Kemenkes bukan hanya omon-omon” pungkas Rachma Fitriati

Senada, Rahmaniwati, Anggota KTKI lainnya mengatakan, masalah transparansi dalam seleksi KKI, Kolegium, dan Majelis Disiplin Profesi semakin mencuat akibat dugaan pelanggaran terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Proses seleksi ini dinilai tidak transparan dan kurang akuntabel, dengan hasil yang seharusnya diumumkan pada 30 September 2024 tetapi tidak pernah dipublikasikan,” ujar Rahmaniwati yang pernah memenangkan perkara PTUN melawan Menkes pada awal 2000-an.

Sedangkan Ismail, Perwakilan Profesi Teknisi Pelayanan Darah dari Konsil Keteknisian Medis, mempertanyakan, mengapa Menteri Kesehatan justru mengirim surat kepada Presiden (nomor KM. 04.01/Menkes/690/2024) untuk menetapkan hasil seleksi menjadi Kepres 69/M.2024, tanpa mengikuti prosedur transparansi yang diwajibkan seperti yang tertulis di PMK 12/2024?

Anehnya, mengapa Sekneg malah langsung menyetujui surat Menkes tanpa proses klarifkasi dan investigasi tentang profil Ketua yang dicalonkan. Karena LNS merupakan pejabat negara, jadi seharusnya juga berkaitan dengan data diri, rekam jejak dan integritas mereka.

“Memang Sekneg tidak melibatkan BIN ? Bukankah, Anaya telah memiliki banyak catatan? Mulai dari konflik kepentingan karena Anaya juga terlibat sebagai Pansel KKI, disampaung ternyata Anaya sudah pensiun per 1 Oktober 2024 sehingga tidak bisa lagi mewakili unsur pemerintah. Alasan lainnya soal integritas dan rekam jejak yang mengusik rasa keadilan. Apakah Sekneg tidak mengetahui telah banyak jejak digital, dimana KPK telah memanggil Anaya sebagai Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Farmalkes Kemenkes RI terkait dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di lingkungan Kementerian Kesehatan,” jelasnya.

“Kemenkes lah yang justru melanggar Peraturan Menteri Kesehatan No. 12/2024 Pasal 13 yang mengharuskan pengumuman terbuka dan partisipasi masyarakat,” tambah Ismail.

Pihaknya mempertanyakan kenapa justru Kemenkes melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Desakan reformasi agar proses seleksi lebih profesional, transparan, dan akuntabel pun semakin kuat.

Arin Supriyadi, Tenaga Kesehatan dari Keterapian Fisik yang juga Dosen Universitas Swasta di Surakarta juga meminta Ombudsman RI untuk memaparkan ke public tentang hasil dugaan maladministrasi, termasuk pemberhentian sepihak anggota KTKI tanpa pemberitahuan resmi.

“Seleksi kemarin hanya formalitas belaka, tidak profesional, dan hanya demi kepentingan segelintir orang. Bagaimana mungkin kompeten jika wawancara hanya diberi waktu 3 menit, dan jawaban peserta pun dipotong oleh panitia seleksi,” tegas Siti Munawaroh Anggota KTKI dari Konsil Kesehatan Tradisional, pensiunan Kemenkes.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *