Pembebasan Tom – Hasto Dalam Perspektif Politik

Ilustrasi (Poto: Istimewa)

Oleh: Agus Wahid

Tergolong mengejutkan. Itulah abolisi untuk Tom Lembong yang baru saja diputuskan penjara 4,5 tahun. Sementara, Hasto Kristianto mendapat amnesti. Intinya, kedua tak berlanjut untuk merasakan hukuman di balik jeruji pasca Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya (abolisi dan amnesti) kepada kedua tokoh itu. Sebuah penggunaan hak prerogatif Presiden yang sarat dengan pertimbangan politik. Lalu, seperti apa catatan politik yang layak kita ketengahkan?

Yang pertama dan utama, pemberian abolisi dan amnesti memang berpijak pada hukum dan konstitusi (Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945) dan Pasal 1 Angka 1 UU No. 22 Tahun 2002. Abolisi dan amnesti menggambarkan kedua tokoh itu sejatinya tak terbukti melakukan kesalahan, tak punya niat jahat, ditambah tak ada kerugian negara. Karenanya, sungguh aneh ketika hakim tetap memutus hukuman penjara. Sangat boleh jadi, Menteri Hukum dan HAM menelaah proporsi hukumnya, di samping dimensi kemanusiaannya.

Begitu juga, Prabowo kemungkinan mencermati proses hukum yang berlangsung di pengadilan itu. Itulah sebabnya, ketika Menteri Hukum dan HAM mengajukan abolisi dan amnesti langsung direspon positif oleh Presiden. Setelah melalui proses politik di DPR untuk mendapatkan persetujuan, langkah Presiden untuk abolisi dan amnesti direspon secara proporsional juga.

Meski demikian, pemberian abolisi dan amnesti kepada kedua tokoh itu sebagai hal kedua tak bisa lepas dari catatan politik. Bahasa yang keluar dari Prabowo adalah demi menciptakan persatuan antar anak bangsa. Dan menjelang hari kemerdekaan RI dijadikan momentum untuk merenda persatuan nasional.

Tapi, apakah seelementer itu pertimbangan memberikan abolisi dan amnesti kepada kedua tokoh itu? Tidak. Publik membaca dan meyakini sebagai hal ketiga Prabowo sejatinya sedang menunjukkan sikap tegasnya yang berseberangan dengan Joko Widodo.

Prabowo boleh jadi sudah cukup jengah di bawah bayang-bayang cengkeraman Jokowi. Boleh jadi juga, Prabowo sudah bising mendengar suara rakyat tentang keberadaan Prabowo di bawah ketiak Jokowi. Suara rakyat yang membahana itu membuat kesimpulan bahwa Prabowo sejatinya hanyalah boneka Jokowi. Atau, pemerintahan saat ini sejatinya kekuasaan Jokowi periode ketiga. Hanya ganti person. Itu berarti, Prabowo is nothing.

Menyedihkan, tapi, itulah realitas opini publik yang berkumandang. Karena itu, jelang tiba Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI, dijadikan momentum untuk menunjukkan jatidirinya sebagai the real of President RI, yang terlepas dari bayang-bayang Jokowi.

Bagi, Jokowi sikap politik Prabowo merupakan pembangkangan, atau perlawanan. Sebab, kriminalisasi terhadap Tom Lombong dan Hasto tak bisa disangkal yang diduga merupakan pesanan rezim Jokowi saat itu. Landasannya? Data hukum bicara, Tom Lembong masuk ke proses hukum sejatinya lantaran dia pernah menjadi Tim Sukses Anies.

Jokowi diduga berusaha mencari data yang diperkirakan terjadi abuse of power saat Tom menjadi Menteri Perdagangan (Mendag). Memang, selama sepuluh tahun terakhir terbit kebijakan impor gula dan itu dilakukan oleh beberapa Mendag sebelum dan sesudahnya. Tapi, mengapa hanya Tom Lembong yang diproses?

Sementara, Hasto dibidik Jokowi karena berseberangan dengan kepentingan politiknya. Hasto pun cukup lantang dalam melawan “sahabat” lamanya itu karena dinilai sudah berkhianat terhadap partai yang membesarkannya (PDIP). Bagi Jokowi apapun argumentasinya pantang ada pihak manapun mengkritisi secara tajam, terkait kebijakannya, apalagi menyangkut personalnya. Karena itu, Hasto menjadi target KPK, apalagi ada dugaan tindakan terkait upaya menyembunyikan Harus Masiku.

Abuse of power yang dilalukan Jokowi sudah saatnya tak boleh dibiarkan. Harus dihentikan tindakan hukum sebagai alat kekuasaan. Sudah saatnya diberlakukan supremasi hukum. Tapi, bagi Jokowi kebijakan Prabowo dinilai sebagai pembangkangan atau perlawanan. Tentu menyakitkan. Minimal melecehkan. Dan itu dilakukan di saat Jokowi sebenarnya lagi tak berdaya. Sudah sempoyongan secara fisik. Juga, sedang didera kasus hukum Ijazah absurdnya.

Bagi rakyat, sikap politik Prabowo justru mendapat pujian, minimal simpati apalagi ada pertimbangan hukum dan kemanusiaan terhadap Tom Lembong dan Hasto. Yang perlu dicatat lebih jauh sebagai hal keempat keberanian Prabowo juga tak lepas dari kemesraannya yang relatif belum lama dibangun bersama Megawati. Dan Hasto selaku Sekjen PDIP boleh jadi menjadi bagian komitmen politik yang disepakati kedua Ketua Umum partai itu.

Yang perlu dibaca, kemesraan kedua tokoh nasional memperkuat aliansi politik strategis untuk menendang pengaruh politik Jokowi. Komunikasi politik di antara dua Ketua Umum partai politik ini jelaslah mereduksi bahkan memperlemah kekuatan politik Jokowi. Dampaknya pertama bukan semata-mata makin mengaburkannya positioning politik Jokowi. Tapi salah satunya untuk menekan dominasi  Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran

Lalu, apa buah manis dari membebaskan Tom Lembong? Berangkat dari filosofi persatuan bangsa, maka abolisi Tom Lembong merupakan pintu masuk membangun empati terhadap Anies Baswedan dan seluruh jajaran anak Abah, dari lapisan elit sampai grassroot. Nuansa harmonisasi ini penting. Bukan hanya mewujudkan cita-cita persatuan, tapi perjalanan pemerintahan Prabowo sunyi dari kritik tajam, di antaranya dari kaum Anak Abah.

Sikap empati terhadap Anies Baswedan pun “sesuatu” banget dalam kontruksi politik. Aliansi strategis Prabowo-Megawati-Anies Baswedan sangat memungkinkan Jokowi kian panik. Karena, ambisi besarnya membangun politik dinasti akan mudah terhempas. Hilang jauh sebelum kokoh.

Karena itu, kita bisa menelaah dimensi politik dari abolisi terhadap Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristianto. Dimensi ini pun perlu kita baca. Bukan kalkulasi politik jangka pendek, tapi jauh ke depan. Seperti kita saksikan bersama, Jokowi berkomitmen untuk membantu PSI secara all out. Dengan dananya yang tak “berseri”, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pergeseran postur PSI: akan segera membesar. Perlahan tapi pasti, PSI at least pada 2034 akan menjadi tiga besar. Tak tertutup kemungkinan, akan menjadi pemenang pemilu, meski kecil peluangnya untuk memenangkan kontestasi pemilihan presiden.

Sketsa politik ala Jokowi itu tak boleh dibiarkan. Langkah taktisnya bukan menghalangi hak politik Jokowi dan keluarganya, tapi membangun aliansi strategis. Aliansi ini diyakini bakal mampu menghadang ambisi Jokowi dan kedua puteranya atau menantunya.

Akhir kata, abolisi dan amnesti memang merupakan kebijakan Presiden yang penuh makna kemanusiaan, apalagi bernuansa pesanan politik. Namun, pembebasan terhadap kedua tokoh itu juga perlu dibaca sebagai sketsa politik rivalitas politik antara Jokowi versus elitis lainnya. Lalu, ke manakah rakyat perlu berpihak? Perlu sikap cerdas dalam membaca masa lalu.

Ketergodaan politik uang menjadi bencana nasional. Karena, politik uang sejati menghancurkan panggung politik nasional. Mungkinkah menghadang politik uang? Why not? Pendekatannya harus penegakan UU Politik. Harus ada sanksi tegas (pidana) bagi penyogok uang itu. Para penerima politik uang  juga harus diberlakukan sanksi hukum yang sama.

Serba salah jika para penerima dari kaum dlu`afa. Tapi, bagaimana dari kelas menengah dan kaum profesional yang aji mumpung yang menikmati milyaran rupiah saat kontestasi itu? Sanksi pidana harus jauh lebih kuat dan menderakan. Agar, tidak menjadi preseden buruk dan terbudaya.

Saatnya, UU Politik no. 7 Tahun 2017 harus lebih konkret menegaskan sanksi pidana terhadap para eksploitator kelas menengah dan profesional, beridentitas konsultan politik atau lawyer. Kaum bandit ini harus diberi efek jera selagi model kerjanya manipulatif dan memperjuangkan ketidakjujuran. Minimal, perlu diterapkan sanksi pemiskinan atau perampasan aset. Memang ini gagasan gila. Tapi, memang harus dihadapi dengan gila kepada para bandit intelektual itu. Karena, mereka sejatinya penghancur kehidupan bernegara ini.

Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *