JAKARTA, Mediakarya – Beredarnya video sejumlah kelompok masyarakat tengah diambil sumpah janjinya, diduga dipandu oleh Tri Adhianto, yang viral di sejumlah grup WhatsApp maupun media sosial lainnya, harus menjadi pembelajaran bagi para calon kepala daerah di Kota Bekasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat komunikasi politik Adi Bunardi menanggapi beredarnya video Tri Adhianto yang diduga tengah memandu sumpah janji kepada pendukungnya agar memilih pasangan calon kepala daerah nomor urut 3, Tri Adhianto-Harris Bobihoe.
Adi menilai, cara yang dilakukan oleh calon kepala daerah yang meminta kepada pendukungnya agar tidak berkhianat dan bersumpah atas nama Allah, itu merupakan bagian dari propaganda psikologis.
Kendati hal itu dinilai sangat kontroversi, namun pola seperti itu dalam Pemilu kerap dilakukan. Baik itu dalam pemilihan calon legislatif maupun calon kepala daerah. Karena itu bagian dari propaganda psikologis, sehingga pemilih takut jika berkhianat atau bakal memilih calon lainnya.
“Namun tentunya, cara tersebut sangat tidak demokratis. Karena kandidat calon kepala daerah sama saja memberikan pressure kepada calon pemilihnya. Dan saya menilai cara seperti itu tidak dibenarkan dalam pesta demokrasi ini. Apalagi calon pemilih ditakut-takuti dengan ancaman azab jika tidak memilihnya,” ujar Adi kepada Mediakarya, Kamis (31/10/2024).
Lebih lanjut, berbeda jika kelompok massa itu menyatakan janji (baiat) akan mendukung terhadap calon kepala daerah Kota Bekasi itu berangkat dari diri sendiri tanpa ada pressure.
Oleh karenanya, ia meminta calon pemilih agar dapat membedakan antara propaganda psikologis dan bai’at.
“Baiat itu berangkat dari nilai-nilai kesadaran atau kesetiaan untuk mendukung, sementara propaganda psikologis adalah memaksa seseorang untuk mendukung disertai dengan pernyataan sumpah janji, hal itu agar calon pemilih tidak lari untuk mendukungnya,” beber Adi.
Adi menilai, cara propaganda psikologis yang dilakukan oleh calon kepala daerah dalam melakukan penggalangan dukungan tersebut sangat tidak etis dan tidak demokratis.
“Karena ada unsur under pressure atau penekanan terhadap calon pemilih, salah satunya ada kata-kata akan diazab oleh Allah jika berkhianat atau tidak memilih calon tertentu,” ungkap Adi.
Untuk itu Adi berharap agar publik menjadi pemilih yang cerdas (smart voters). Yaitu yang memiliki sebuah kesadaran politik tentang masyarakat yang demokratis.
Oleh karenanya, Pilkada harus menjadi sebuah ajang perubahan. Dan pemilih yang cerdas itu menentukan pilihannya berdasarkan track record.
“Jangan pilih calon kepala daerah yang bermasalah, baik dalam persoalan hukum maupun cacat etika dan moral,” ucap Adi.
Kemudian, ia juga mengimbau masyarakat agar memilih calon pemimpin yang memiliki visi misi yang secara rasional dapat diwujudkan.
“Dan yang tak kalah penting adalah calon pemilih itu harus memiliki kemerdekaan. Sehingga bebas memilih calon pemimpinnya tanpa ada unsur tekanan dari manapun,” tutup Adi.
Seperti diketahui, baru-baru ini publik dihebohkan dengan beredarnya video di grup WhatsApp terkait dengan pernyataan dukungan dari kelompok masyarakat terhadap salah satu calon kepala daerah yang akan berkontestasi pada pilkada Kota Bekasi mendatang.
Di mana dalam acara yang diduga dipandu oleh salah satu calon kepala daerah (cakada) nomor urut 3 Tri Adhianto itu disebutkan bahwa jika kelompok yang menyatakan dukungan terhadap pasangan Tri Adhianto-Harris Bobihoe itu melanggar janji maka siap menerima azab dari Allah.
Anehnya lagi, pernyataan janji dari sekelompok orang dengan mengangkat tangan sebelah kanan itu, salah satu poin diselipkan kata-kata bahwa janji itu dibuat tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. (Pri/Aep)