JAKARTA, Mediakarya – Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) diminta untuk memaksimalkan deteksi dini terhadap kelompok atau gerakan yang mengarah pada aksi terorisme di Indonesia.
Ketua Prabu Foundation Asep Muhargono yang juga mantan Panglima NII Koordinator Wilayah Jawa Barat ini mengingatkan agar program deradikalisasi tidak hanya terfokus pada para pembinaan para mantan narapidana teroris (Napiter)
Namun, kata Asep, BNPT agar lebih memaksimalkan pembinaan terhadap generasi muda yang dinilai sangat rentan untuk disusupi paham yang menyimpang (radikal)
“Sepanjang pengalaman yang pernah kami lakukan, kelompok NII ini kerap menyasar anak-anak muda berusia 17-24 tahun. Oleh karena itu kami menilainya bahwa di usia tersebut sangat rentan disusupi paham radikal,” kata Asep dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/11/2024).
Asep mengatakan, kelompok yang ingin merubah ideologi Pancasila atau yang disebut NII itu menyasar korbannya dengan memberikan gambaran soal kondisi ekonomi dan politik di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Seolah bahwa pemerintah tidak berpihak kepada umat islam.
“Ketika korbannya telah merespon, maka kelompok itu langsung beraksi dengan memasukan doktrin ayat-ayat jihad. Sebab, dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, bagi (NII) jalan satu-satunya dengan jihad.,” jelasnya.
Maka tak sedikit di antara mereka menghalalkan segala cara, karena bagi kelompok NII, bahwa kondisi negara saat ini dalam keadaan perang.
Maka apapun yang dilakukannya bernilai ibadah, termasuk dengan cara fa’i (mencuri, istilah yang sering diucapkan oleh kelompok NII).
“Jadi tidak heran, jika seseorang sudah tercuci otaknya dengan doktrin ayat-ayat jihad, maka semangatnya luar biasa. Karena yang ada di benaknya jika pun mati dalam kondisi perang maka matinya syahid. Meski harus mencuri ataupun menipu orang tuanya. Dan duit hasil curian tersebut mereka sering sebut ghonimah,” katanya.
Karena kata Asep, kelompok NII itu memaknai jihad sangat sempit. Sementara doktrin ayat-ayat yang sengaja dipilih untuk memberikan semangat bagi kelompok calon jamaah (NII) sudah disiapkan dengan baik. Bahkan hafal lafadz arab dan artinya.
“Bagi anak-anak muda yang belum memahami agama secara utuh, ketika dicekoki ayat-ayat jihad maka dengan mudah ditelan mentah-mentah. Terlebih lagi yang memberikan pemahaman itu sesama anak muda, sehingga mudah diterimanya dengan baik,” katanya.
Untuk itu, guna memproteksi anak-anak muda dari pengaruh paham radikal, diperlukan pemahaman sedari dini.
“Misalnya, sosialisasi ke sekolah-sekolah maupun kampus-kampus. Sebab di komunitas itu, kelompok NII sering kali melakukan operasinya. Dan biasanya dipilih anak-anak muda yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dari situlah cikal bakal lahirnya sel-sel baru gerakan radikal di Indonesia,” ungkap Asep.
Asep menyarankan agar BNPT menggandeng mantan aktivis NII yang pernah menjadi pelaku sejarah. Sebab, kata dia, jika pemerintah salah mendiagnosa gerakan radikal, dikhawatirkan akan memunculkan fitnah dan konflik sesama umat islam.
Kadang, lanjut Asep, tak jarang akibat pernyataan seseorang yang mengaku pernah menjadi korban NII namun tidak memahami pergerakannya secara utuh, apalagi orang tersebut baru satu atau dua tahun pernah di NII namun berbicara soal gerakan NII maka yang ada hanya memfitnah kelompok lain yang tak ada irisannya sala sekali dengan gerakan NII.
“Jika orang tersebut bukan pelaku sejarah, kemudian berbicara NII dikhawatirkan justru hanya menciptakan kebencian antarumat beragama. Karena ini isu yang sangat sensitif,” pungkasnya.