Daerah  

Hari Kesaktian Pancasila: Ideologi Bangsa di Tengah Krisis Sosial-Politik Kontemporer

Oleh : Aris Gunawan (Ketua Dewan Pimpinan Cabang GMNI Sukabumi Raya)

SUKABUMI, Mediakarya – Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini lahir sebagai respon atas upaya delegitimasi terhadap Pancasila melalui tragedi politik 1965. Sejak itu, Hari Kesaktian Pancasila dimaknai sebagai momentum untuk meneguhkan kembali posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa yang tahan uji terhadap berbagai ancaman.

Namun, dalam konteks kekinian, Pancasila kerap hanya diperlakukan sebagai slogan dan retorika seremonial tanpa disertai penghayatan praksis. Nilai-nilai Pancasila seolah jauh dari realitas kehidupan berbangsa yang diwarnai oleh maraknya ketimpangan sosial, praktik politik transaksional, hingga lunturnya semangat solidaritas kebangsaan. Pertanyaannya kemudian: bagaimana Pancasila tetap relevan di tengah dinamika globalisasi dan krisis sosial-politik kontemporer?
Pancasila sebagai Filsafat dan Ideologi Bangsa

Secara akademis, Pancasila dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Notonagoro (1975) menegaskan bahwa secara ontologis, Pancasila bersumber dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang tumbuh dari nilai-nilai adat, agama, dan budaya. Secara epistemologis, Pancasila memberi kerangka berpikir dalam mengorganisasikan kehidupan bernegara, termasuk dalam penyusunan konstitusi dan kebijakan publik. Sedangkan secara aksiologis, Pancasila berfungsi sebagai pedoman etis dan moral yang mengarahkan tindakan setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau dasar filsafat yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Bagi Soekarno, Pancasila adalah ideologi pemersatu, bukan dogma kaku, melainkan ideologi terbuka yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Pandangan ini sejalan dengan Yudi Latif (2011) yang menekankan bahwa Pancasila harus terus dirawat sebagai “living ideology”—sebuah ideologi yang hidup, relevan, dan menjadi pedoman praksis dalam menghadapi tantangan kontemporer.

Tantangan Pancasila di Era Kontemporer

Meski secara normatif Pancasila telah ditempatkan sebagai ideologi bangsa, realitas sosial-politik menunjukkan adanya tantangan serius dalam pengaktualisasiannya. Beberapa di antaranya:

1. Globalisasi dan Neoliberalisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *