Nurul Ajak Masyarakat Tidak Pilih Cakada Kota Bekasi Perusak Lingkungan dan Miliki Rekam Jejak Buruk

Ilustrasi

JAKARTA, Mediakarya – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Bekasi yang akan berlangsung pada 27 November 2024 mendatang ternyata membawa dampak buruk bagi nasib pohon yang menjadi tiang pemasangan alat peraga kampanye (APK) bagi calon kepala daerah (cakada)

Pandangan ini tidak hanya memerinci konsekuensi lingkungan, tetapi juga mencermati perspektif sosial, norma, dan aturan yang mengikat masyarakat.

Padahal memperlakukan pohon dengan baik sebagai paru-paru dunia sangatlah penting untuk mempertimbangkan aspek ini guna mencapai keseimbangan antara politik dan keberlanjutan lingkungan.

“Dalam perspektif lingkungan, penggunaan pohon sebagai tiang baleho menimbulkan keprihatinan serius. Pohon-pohon yang dipilih mungkin memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk tumbuh,” ujar pemerhati sosial dan pegiat antikorupsi, Nurul Yuliana kepada Mediakarya, di Jakarta, Jumat, (25/10/2024).

Nurul mengungkapkan, menjadikan pohon di seluruh penjuru Kota Bekasi sebagai tiang pemasangan baliho akan menciptakan ketidakseimbangan ekologis dan kerusakan yang merugikan, mengingat pentingnya pohon dalam menjaga keseimbangan karbon dan ekosistem. Dari segi sosial, praktik ini dapat menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

“Dalam konteks ini, kita dapat merenung tentang Gerakan Chipko di India yang digalang oleh Amrita Devi Bishnoi pada abad ke-18. Gerakan tersebut menekankan pentingnya pelestarian pohon sebagai penopang kehidupan masyarakat,” ungkap Nurul.

Menggunakan pohon hanya sebagai tiang baleho calon cakada dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai konservasi dan keberlanjutan. Norma dan aturan yang berlaku di Indonesia perlu menjadi panduan dalam menyikapi isu ini.

Dia pun menilai, perilaku memasang baliho atau spanduk cakada dengan mengikat bahkan memaku pohon seyogyanya bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa praktik kampanye tidak merugikan lingkungan, tetapi juga menjadi tanggung jawab para calon pemimpin negeri yang notabene mengorbankan kepentingan lingkungan demi haya untuk dikenal orang.

“Kepatuhan terhadap regulasi terkait perlindungan pohon dan keanekaragaman hayati harus diutamakan oleh semua pihak demi menjaga integritas lingkungan,” jelas Nurul.

Lebih lanjut, pemerhati sosial dan aktivis antikorupsi ini juga menilai Pilkada bukan hanya perang baliho atau APK lainnya, namun yang paling penting saat ini bahwa di era perkembangan teknologi digital, cakada harus mampu menjelaskan gagasan dan program kerjanya ketika dia nanti terpilih, hal itu setidaknya akan menjadi referensi bagi generasi muda untuk memilih pemimpinnya dalam lima tahun ke depan.

Nurul menilai bahwa keinginan masyarakat terhadap calon kepala daerahnya sebetulnya sangat sederhana. Yakni yang mampu menyejahterakan rakyat dan mewujudkan pemerintahannya yang bersih dan terbebas dari korupsi.

Sebab, dua periode kepala daerah sebelumnya Kota Bekasi dipimpin koruptor. Oleh karena itu mengetahui rekam jejak calon kepala daerah itu sangat penting.

“Jangan lagi kita dipimpin oleh kepala daerah yang bermental sama seperti pendahulunya. Yaitu hanya memperkaya diri sendiri dan kelompoknya,” ujar Nurul.

Seperti diketahui, bahwa mantan Wali Kota Bekasi sebelumnya yakni Mochtar Muhamad yang juga politisi PDIP itu harus berurusan dengan KPK karena terbukti korupsi dan dijatuhi hukuman selama 6 tahun penjara.

Ternyata kasus korupsi yang menjerat Mochtar tidak menjadi pelajaran berharga bagi kepala daerah berikutnya. Mantan Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang juga politisi Golkar pun harus bernasib sama.

Mantan ketua DPD Golkar Kota Bekasi itu kini harus mendekam di jeruji besi di Lapas Pondok Rajeg Cibinong Kabupaten Bogor, dan menerima ganjaran penjara selama 12 tahun lantaran terbukti melakukan sejumlah kasus tindak pidana korupsi.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *